Entah sudah berapa kali ia memandangi titik sofa bekas pria yang ia puja setengah mati itu sempat memiliki beberapa menit interaksi dengannya. Sayangnya, interaksi itu bukanlah yang ia harapkan.
"Sial! Sial! Kenapa malah jadi seperti ini sih?! Arghh!!" Ia mencengkeram rambutnya kuat-kuat, menariknya dengan frustasi menghasilnya beberapa helai rambut ungunya itu tercabut dari tempatnya.
"Inojin tidak boleh bersama gadis itu, dia harus bersama denganku!" racaunya, ia mengobrak-abrik tasnya mengeluarkan ponselnya, mendial nomor seseorang yang tidak kunjung menjawab panggilannya. "Argh! Sialan!"
Sumire membanting ponsel itu, syukurnya itu mendarat tepat di sofa, sehingga tidak menimbulkan kerusakan setitikpun pada benda tak bersalah itu. Entah keberapa kali, ia menenggak air dengan paksa, berusaha menenangkan pikirannya yang sedari tadi meracau entah kemana.
"Harusnya ku bunuh saja pria kedai itu, kenapa pula Inojin harus kesana?!"
Tring!
Secepat kilat ia menyambar ponselnya, membukanya dan melemparnya lagi setelah hanya mendapatkan notifikasi kabar meeting yang harus ia adakan besok. Sebelum satu ide melesat lagi di otak piciknya itu, ia memunguti ponselnya dan mengetikkan balasan pada rekan kerjanya yang baru saja menghubunginya.
"Tidak apa, kita masih bisa bertemu besok Inojin. Kau akan melihat pembalasanku, kau pikir kau bisa lepas dariku dengan mudah?"
•••
"Ini." Lengan tegap pucatnya itu memberikan sekantung plastik penuh berisikan makanan manis kemasan, sepasang mata biru laut menyambutnya dengan riang. "Terimakasih!"
"Jangan habiskan semuanya sekaligus."
"Yaah kenapa? Kan Kakak belikan ini untukku," ujarnya sambil cemberut, membuka sekantung permen jeli selimut gula dengan tidak semangat.
Inojin menyamakan tingginya dengan sosok yang tengah duduk di bangku taman rumah sakit itu, "Aku tidak mau bayiku jadi sakit di dalam sini," ujarnya mengetuk pelan permukaan perut Hima.
"Humm baiklah." Hima tidak merasa kesal karena tidak bisa makan makanan enak karena bayinya, ia kesal karena Inojin menjadi semakin cerewet. "Mau?" Inojin mengambil satu permen yang ditawarkan istrinya itu.
"Undang Sarada dan Chocho besok ya, aku harus lembur," jawabnya, memasukkan permen itu ke mulutnya dan mulai mengunyahnya, "Terimakasih." kemudian dia lanjut mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"Baiklah, aku akan tanya apa mereka bisa."
"Kenapa begitu?"
"Kalau tidak salah, sebentar lagi ujian naik kelas, Sarada biasanya akan ikut les."
"Yasudah undang Chocho saja." Inojin ikut duduk di samping Hima, "Makanan di rumah cukup banyak untuknya."
Hima memincingkan matanya, jelas sekali menangkap sindiran pada temannya yang tukang makan banyak itu, memukul dengan sangat bahu pria itu dan menyumpal mulutnya dengan dua buah permen lagi.
"Tidak boleh bicara seperti itu pada temanku!"
"Iya iya! Maaf!" ujarnya berusaha mengunyah permen paksaan itu, "Kau kok jadi galak sekali sih?"
"Kau juga jadi cerewet sekali!" Hima terkejut dengan perkataannya sendiri, setelah jeda sepersekian detik, ia meralat kata-katanya, "Maksudku, Kakak jadi cerewet padaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
FanficKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...