Rahasia

202 18 11
                                    

[WARN!]
Bagian ini mengandung konteks pembahasan konten dewasa yang mungkin tidak pantas untuk beberapa pembaca, diharapkan kebijakannya untuk memilih bacaan.

"Tentu saja Hima! Bicara apa kau? Aku bahkan bisa pindah ke rumahmu sekarang juga!" antusias Ino, sifat kekanak-kanakannya seolah kembali begitu mendengar kabar ajaib ini, tidak henti-hentinya Sai berusaha mengontrol kembali istrinya itu untuk bersikap sebagaimana selayaknya seharusnya seorang ibu itu, tapi tetap saja, itu tidak berlaku.

"Kalau kau pindah aku sendirian begitu?" celetuknya bercanda, Ino akhirnya berusaha keras mengembalikan suasana hati suaminya yang terlihat buruk itu walau sebenarnya tidak terjadi apapun.

"Oh ya ngomong-ngomong, bagaimana dengan namanya Inojin? Kau tidak boleh melupakan tradisi keluarga kita ya." Ino setelah berhasil membuat Sai tersenyum lagi.

"Ah iya.." balasnya, Himawari hanya menengok kepadanya dengan tatapan bingung, seolah ia juga melupakan hal penting soal nama dan tradisi pemberian kata "Ino" pada Keluarga Yamanaka. "Sejujurnya, aku belum berpikir sejauh itu sih.."

"Astaga kau belum menyiapkan namanya??" ibunya itu terheran-heran. "Siapkan dengan cepat, kan aneh jika aku memanggil cucuku sendiri dengan hanya 'bayi' itu tidak bagus Inojin!"

"Iya iya nanti aku pikirkan namanya, Ibu tenang saja."

Sementara Hima hanya menjadi saksi bisu semua pertengkaran perkara nama bayinya itu. Ia juga baru sadar ia juga melupakan hal itu.

___

"Kita pergi belanja lusa saja ya? Aku harus bertemu pengacaraku, kalau kau mau ke rumah sakit aku akan antar kau dulu," celetuk Inojin begitu mereka tengah membersihkan kamar lain itu untuk kamar putranya–ya yang tadi direncanakan untuk kamar istri kedua suaminya itu.

"Oh Kak Sumire ya?" Inojin hanya mengganguk, "Dia akan dihukum seperti apa?"

"Kau maunya seperti apa?" tanyanya lagi mengambil alat pel dari pegangan Hima itu untuk disimpan, "Kau harus datang juga ke pengadilan nanti.. Maaf pasti kau tidak suka, tapi kau korbannya jadi ya–"

"Tidak apa, aku akan ikut," potongnya, "Putra kita memang sudah kembali lagi, tapi tetap saja Kak Sumire sudah pernah membuatnya pergi. Aku tidak suka."

"Haa begitu?" dia tiba-tiba saja berselonjoran di lantai setengah basah yang baru di pel itu, "Kau mulai kembali pada dirimu yang dulu ya?"

"Hum?" rutuknya, ia ikut duduk di samping suaminya itu, tapi tidak ikut merebahkan tubuhnya.

"Saat kau hamil, kau sangat berani menyela perkataanku, membantahku bahkan bertengkar denganku. Tapi sekarang kau kembali jadi si gadis polos yang mencintai teman kakaknya," celotehnya, "Tapi tak apa, aku suka semua sisimu itu."

"Saat itu anak kita yang membuatku seperti itu tau!" ia mendengus sebal pada wajah pucat Inojin yang menatapnya dari posisi tidurannya itu, "Humm... Kalau aku nanti hamil lagi, dan anaknya mirip aku, akan jadi sepolos apa ya aku nanti?"

"Hahaha! Kau mungkin akan kembali seperti murid taman kanak-kanak." ia berusaha keras tidak menghela napas mendengar celotehan Hima itu yang ia tahu tidak mungkin terjadi lagi, "Sudah jangan bahas ini dulu, anak kita bahkan belum serumah dengan kita, dan kau sudah membahas untuk punya anak lain?"

"Yaa memangnya kau tidak ingin punya–"

Inojin memotong perkataannya dengan ikut memposisikan dirinya sama dengan Hima, meraih pinggangnya dan mengunci semua pergerakannya, mempersempit jarak di antara keduanya sehingga napasnya menderu menerpa pipi manis itu yang kini tengah memerah padam. Ia merutuki dirinya sendiri karena terkesan memaksa, tapi ia rasa dia tidak punya pilihan lain untuk memotong percakapan ini. Kebohongannya haruslah tetap jadi kebohongan.

Can We Fall In Love? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang