"Jelaskan padaku sekali lagi kenapa dia tidak bisa dihukum mati?" cerca Inojin, begitu topik tidak mengenakan yang ia dapatkan di ruang tahanan, kini dia memilih untuk kembali menghampiri temannya itu, dengan sangat disayangkan perban menutupi satu sisi pipinya.
"Kan sudah ku katakan, karena Hima tidak meninggal." Ia menyeruput kopinya yang masih mengepulkan asapnya, "Yah aku bersyukur Hima selamat."
"Tapi Putraku tiada karena ini. Apa dia tidak bisa dihitung sebagai korban?" Ia mendapat gelengan atas pertanyaan itu dan seketika merebahkan punggungnya begitu saja dengan keras ke sofa yang ia duduki itu.
"Putramu itu belum lahir. Paling berat dia hanya bisa dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat rencananya juga sepertinya benar-benar matang." Ia menyodorkan cangkir kopi milik Inojin ke hadapannya, ia yakin apapun yang Inojin bicarakan dengan Sumire pastilah bukan sesuatu yang menyenangkan.
"Ia lahir hari ini dan mati hari ini karena dia Shikadai!" Inojin hampir saja memukul meja jika saja Shikadai tidak segera mengunci pergerakan temannya itu dan mengingatkan meja kerjanya itu terbuat dari kaca.
"Aku tahu.. Tapi kita tidak bisa punya segalanya di hidup ini Inojin." Shikadai berusaha menenangkannya, sesaat kemudian ia mengingat perkataan ambigu yang disampaikan Sumire sebelum ia diberi akses telpon untuk menghubungi pengacara, "Sumire pernah menolak menggunakan pengacara."
"Kenapa? Dia tiba-tiba saja ingin bertobat begitu?" Shikadai menyalakan sebatang rokok dari saku depannya, menyesapnya sekali kemudian melirik temannya lagi dan menggeleng.
"Mungkin? Dia bilang dia akan terima begitu saja semua putusanku jika aku biarkan dia bertemu kau. Tapi sialnya dia memilih cara yang lain untuk menemuimu." Ia menunjuk perban yang membalut pipinya.
"Yah maaf untuk itu, mau ku bawa bertemu dokter?" Shikadai menggeleng, "Ah ini hanya luka kecil, fokus saja pada Hima sekarang. Oh ya bagaimana dia?"
"Dia sudah tahu tentang kegugurannya–sepertinya ia belum mau bertemu denganku lagi." Ia mendapatkan beberapa tepukan di bahunya atas itu, "Sabar saja, ini pasti berat untuknya."
Ia mengganguk, kemudian mengingat lagi sekilas topik yang mereka bicarakan, "Sepertinya maksud Sumire bukanlah bertemu denganku saja, ia meminta sesuatu dariku."
"Apa?" tanyanya, Inojin menghabiskan seluruh kopinya dengan sekali teguk sebelum bersiap membalas pertanyaan itu.
"Ia memintaku menghabiskan satu malam dengannya."
"HAH?! ASTAGA! DAN KAU SETUJU?!"
"Tentu saja tidak! Bodoh!" sentaknya, sembari mengipasi semburan asap yang tiba-tiba saja menyerang wajahnya.
___
"Jangan masuk dulu, Hima masih muak denganmu." Inojin hanya memandangi istrinya yang tengah asyik bercengkrama dengan orang tuanya itu, ia melihat ujung matanya sempat menangkap keberadaan dirinya namun tentu saja, ia tidak peduli, tidak apa, ia pantas mendapatkannya, bukan begitu?
"Bagaimana? Sudah selesai?" ia menggeleng seraya ikut duduk di samping kakak iparnya itu, "Serumit itu ya?"
"Tidak juga sih, aku hanya ingin fokus pada Hima saja untuk saat ini." Boruto hanya mengganguk, setelah itu hanya tercipta keheningan di antara mereka, entah ingin membicarakan topik apa lagi.
Sementara Boruto sibuk bermain permainan daring di ponselnya, Inojin hanyut dalam pikirannya sendiri soal permintaan Sumire, apa maksudnya ia akan terus menyakiti Hima jika ia tidak memenuhi permintaannya? Tapi bagaimana lagi? Apa dengan membunuh putranya yang bahkan belum lahir ke dunia itu tidak cukup?

KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
Fiksi PenggemarKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...