"Oh astaga kenapa kau bisa seperti ini?" Entah sudah berapa kali Ino bertanya seperti itu pada putranya yang tak kunjung sadarkan diri itu, berapa kali juga para staff medis itu meminta Ino untuk meninggalkan Inojin sendirian.
"Sudahlah, dia akan baik-baik saja." Sai berusaha menenangkannya, "Mau pergi membeli takoyaki ?"
"Kau menyuruhku jajan saat putraku seperti ini Sai?!" Ino menatap suaminya itu tidak percaya, Sai hanya menghela napas, itu hanyalah usahanya agar Ino mau pergi meninggalkan ruangan.
Ia menyenderkan kepala istrinya itu mendekatinya, mengusapnya perlahan dan memberi Ino lembaran tisu kering baru, lagi.
"Tidak begitu." Sai berpikir, menatap keluar jendela menyaksikan keluarga besannya itu ada di sana, "Ayo kita beri kesempatan untuk Hima juga, Inojin pasti ingin dia disini bukan?"
Ino menatapnya sekali lagi, Sai mengusap air matanya dan membelai pucuk kepalanya. "Hima juga pasti khawatir seperti kau, biarkan ia masuk sebentar dan berbicara dengan suaminya, setelah itu kita bisa kembali menjaganya, bagaimana?" ia hanya mengangguk, mengecup kepalan tangan putranya itu sekali lagi sebelum meninggalkannya.
Mereka berdua keluar dan mempersilakan Hima masuk sebentar, Sai dan Naruto berbagi tatapan yang tidak bisa dimengerti istri-istri mereka di sana, sementara Boruto hanya terduduk dengan wajah masam seolah bocah yang merengek untuk segera dipulangkan dari sekolah.
Setelah Ino akhirnya berbincang bebas dengan Hinata, Sai mendekati kakak menantunya itu dan duduk di sampingnya, disambut tatapan terkejut dan tidak suka oleh si pemilik mata biru di sana.
"Ada apa Paman mendekatiku?"
"Aku ingin minta maaf." Boruto seketika menoleh, menegakkan posisi duduknya dan sedikit condong ke arah lawan bicaranya itu.
"Maksudnya?"
"Aku tahu kau kesal pada Inojin, aku minta maaf karena tidak tahu apapun soal kelakuannya, sehingga tidak bisa menghentikan atau setidaknya menasehatinya." Sai melemaskan seluruh tubuhnya, bersender pada kursi tunggu rumah sakit yang dingin terpapar penyejuk ruangan itu. "Ino bilang Inojin persis sepertiku, jadi aku rasa, aku ikut andil dalam setiap perbuatannya."
"Inojin cukup dewasa untuk meminta maaf sendiri Paman," kesalnya.
Sai mengganguk, "Aku tahu." ia menatap putra karibnya itu yang enggan menatap wajahnya, "Tapi ia tidak bisa minta maaf sekarang."
"Dia mungkin tidak menyukai ide ku dan ayahmu. Ya kau tahu, pernikahannya. Tapi ia membuktikan perkataannya untuk tidak mencurangi adikmu, ia bahkan sempat memilih untuk mengakhirinya saja."
Boruto semakin bingung, apa maksudnya Inojin tidak mencurangi adiknya? Bukannya sudah jelas ia berselingkuh? Naruto hanya ada di sana, menyaksikan semuanya, seolah tidak mau menganggu apapun yang terjadi di antara besan dan putranya itu.
"Wanita itu menipu kita semua, ia ada di sini hari ini adalah karena wanita itu." Sai bangkit dan menepuk bahu Boruto sedikit, "Kau bisa tanyakan padanya nanti, bukan hak-ku untuk menceritakan itu."
Sai berjalan melewati Naruto dengan sedikit anggukan dan dibalas dengan hal yang sama, ia mengajak Ino untuk membeli takoyaki sesuai janjinya. Entah apa yang dibicarakannya dengan Hinata, Ino menjadi lebih tenang dan sedikit ring kembali, dan menjawab ajakan suaminya itu dengan lembut.
Boruto melihat jendela itu, menyaksikan adiknya yang entah bicara apa. Memikirkan hal yang tidak ia pikirkan sebelumnya, "Sumire yang membuat Inojin seperti itu?"
Ia berusaha mengingat ucapan dokter soal kondisi iparnya itu, luka tusuk. Ya itu, luka tusuk yang ditemukan di sisi kiri perut Inojin, bahkan ia dibawa dengan pisau yang masih tertancap di tempat yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
FanficKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...