Putra Inojin

155 21 0
                                    

Sudah sekitar sebelas menit keduanya saling mematung, berulang kali gadis itu menanyakan hal yang sama; ada apa dengan dirinya? Tapi sang lawan bicaranya itu terus saja menunduk dan beberapa kali menghela napas, mengigit bibirnya sendiri, menggaruk tengkuknya yang ia yakini tidak gatal, dan malah berulang kali mengajaknya berbincang hal yang lain.

Kilas balik seolah terjadi, bedanya saat itu berita yang dibawakan adalah tentang kehamilannya, tapi kini lidah pria itu tidak sanggup untuk mengabarkan berita yang berkebalikan dengannya.

"Ayolahh mau sampai kapan kau diam? Apa aku tidak berhak tahu apa yang terjadi padaku? Ada apa? Dimana bayi kita Kak–maksudku Inojin, apa dia–"

"Dia–" lidahnya kelu lagi, sial, padahal ia sudah menyusun banyak sekali kalimat sebelum datang kemari, kenapa sekarang semua kalimat itu menguap entah kemana?

"Kenapa? Ayo katakan padaku!" Inojin memalingkan wajahnya lagi, kesabarannya sudah habis, baru saja jemarinya meraih tombol di atas ranjangnya, pergerakannya dikunci oleh lengan suaminya. Ia menatapnya dengan mata yang ia yakini berusaha dengan sangat menahan tangis.

"Kau–menangis?" ia seketika mengusap kedua matanya, menghapus air mata yang belum meluncur ke pipinya itu. "Kenapa? Apa yang terjadi? Dimana bayi kita? Aku sudah melahirkannya kan? Dimana dia?"

Mungkin benar kucing telah mengigit lidahnya, ia malah menghambur ke pelukan istrinya itu, seolah mengikatnya sekuat tenaga tapi tentu saja tetap memberikan celah baginya untuk bernapas, masih dengan keras berusaha menahan tangisnya, tidak ingin membahasi baju rumah sakit itu.

Walaupun kebingungan, Hima hanya bisa menerima pelukannya dan berusaha menenangkan apapun yang mungkin terjadi pada suaminya itu. Apakah separah itu yang terjadi padanya? Atau pada anaknya? Atau ada sesuatu hal lain yang terjadi padanya sebelum ia datang kemari?

"Ma-Maafkan aku Hima, maafkan aku," ia mengenggam seluruh tubuh istrinya itu semakin masuk ke pelukannya lagi, "Ma-maaf.. A-aku–Aku tidak bisa–"

"Tenanglah.. Ceritakan pelan-pelan." ia melepas pelukannya perlahan, Inojin menghapus genangan air di pelupuk matanya lagi, "Apa–kondisiku seburuk itu ya?" ia merenung sejenak memikirkan mungkin benar ia akan mati muda, tapi kemudian ia kembali menatap suaminya yang masih berlinang air mata. "Tidak apa, aku bisa terima kok! Kalau aku benar–" 

Ia menggeleng, memotong celotehnya, "Kau sudah sangat hebat bertahan sejauh ini."

"Lalu ada apa? Aku sudah melahirkan kan? Lalu dimana bayi kita?" Inojin menatapnya lagi, dengan sorot mata yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, ini pertama kalinya ia melihat suaminya yang terlihat sangat tangguh itu menangis sebanyak ini. Bahkan jika diingat, ia sama sekali tidak pernah melihatnya menangis.

"Dia–" helaan napas yang berat dan panjang menyelenginya, ia mengigit bibirnya serta menarik napas dalam-dalam sekali lagi, tersenyum seriang mungkin pada istrinya itu walau tak ayal mata sayunya menunjukkan hal yang lain, "Dia ternyata tidak lebih menyayangiku Hima, ki-kita salah.. D-dia–ia lebih menyayangi Yang Maha Kuasa."

"Yang Maha Kuasa? Maksudmu?" ia gelengkan kepalanya dengan sangat cepat, menampik pikiran buruk itu jauh-jauh, namun anggukan semu suaminya itu membuyarkan air matanya seketika, kini semua sikap aneh suaminya terjawab begitu saja.

"KENAPA KAK?! Kenapa kau tidak selamatkan dia?! Ke-Kenapa kau tidak membunuhku saja?! Kenapa kau–" Inojin menariknya lagi ke pelukannya, Hima menangis membasahi punggungnya sembari terus meracau memaksanya melepaskan diri dari pelukan yang biasanya ia sukai itu, berulang kali ia meminta maaf dan berulang kali pula ia menampiknya. "Kenapa kau harus membunuhnya? Hiks–kenapa Kak! KENAPA!"

"AKU TIDAK BISA KEHILANGANMU LAGI HIMA!" sentaknya, Hima tersentak dengan sangat, sakit hatinya karena mendengar nada itu lagi dari mulut suaminya tidak sebanding dengan sakitnya mendengar anaknya sudah pergi bahkan sebelum ia bisa melihatnya.

Can We Fall In Love? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang