[WARN!]
Bagian ini menyinggung trauma psikis akibat kekerasan fisik yang mungkin menjadi sensitif atau menggangu beberapa pembaca.
Setelah hampir seminggu penuh disibukkan dengan bagaimana cara mengurus bayi baru lahir dengan segala halang rintangnnya, yang membuat modelan gila kerja seperti Inojin mengeluh dengan tumpukan pekerjaan barunnya. Dan ya keluhan lain soal hilangnya waktu untuk hanya berduaan mulai dikeluhkan keduanya, mungkin perkataan orang soal rencana waktu punya anak itu ada benarnya juga. Namun hari ini, mereka memiliki agenda berbeda, seluruh daftar kegiatan kebiasaan mereka dengan Inoyoshi tergantikan dengan menjadi saksi di sebuah persidangan percobaaan kasus pembunuhan.
Ya, sidang untuk Shigaraki Sumire telah tiba pada waktunya.
Ino mengajukan diri-memaksa-untuk menjadi baby sitter cucunya itu, ia enggan mendatangi sidang dengan alasan enggan melihat orang yang hampir membunuh putranya dan meminta suaminya saja untuk mewakili kehadirannnya.
"Astagaa! Lucu sekali! Aku seperti menggendong Inojin lagi, dasar serakah! Kau bahkan tidak membiarkan Hima mewarisi apapun untuk anaknya? Astagaaa," celoteh Ino sembari memainkan cucunya itu di gendongannya, Inoyoshi menanggapi celoteh riuh neneknya itu dengan tersenyum dan ikut tertawa ke hadapannya, "Aaaa gemas sekali! Ah kau tidak perlu khawatir Hima, kau mewariskan senyum dan tawa ini, kau tahu? saat Inojin masih bayi ia susaaahh sekali untuk tersenyum, apalagi tertawa haah aku sudah menjadi orang gila tapi tetap dia diam saja. Syukurlah ia tidak mewarisi sikapnya yang itu ya?"
"Ibu! Apasih, kok malah bercerita seperti itu?" kesalnnya, malu kisah jelek nya diumbar di depan istrinya itu.
"Hmm sudah ku tebak sih Bu, kau pasti sangat kesulitan ya waktu itu?" ujar Hima mendekati Ino dan memeluknya dari samping, Ino pun turut menyenderkan kepalanya pada menantunya itu, bersama-sama membuat raut wajah menangis dan seolah mengasihani diri sendiri, sembari keduanya mengusap-usap bahu masing-masing.
"Benar.. benar.. aku sangat kesulitan."
"Kalian tahu kan? Drama kalian ini tidak akan mempengaruhiku." Keduanya seketika melepas posisinya dengan kecewa, "Sudah ayo, Ibu aku titip Yoshi ya, jangan jadikan putraku mainanmu."
"Aish kau ini begitu sekali pada Ibumu sendiri? Lihat kau sudah sebesar ini itu karena aku! Tentu aku akan menjaga cucuku dengan baik, iya kan Yoshi? Kau akan senang dengan Nenek kan? Astaga nenek! Sudah tua sekali aku!" keduanya hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya menyaksikan tingkah Ino yang kadang masih seperti bocah, Sai keluar dari rumah dan segera bergabung, setelah berpamitan mereka semua pergi ke persidangan.
"Aku sudah menyerahkan semua dokumen terkait pada pengacaraku, kau tidak perlu tegang, cukup jawab semua pertanyaan dengan jujur, acuhkan semua yang mungkin akan Sumire katakan padamu dan-" tutur Inojin yang tiba-tiba saja dipotong oleh Hima dengan menyumpal mulutnya dengan stik roti selai coklat yang ia bawa.
"Iya iyaa aku tahu aku harus apaa, kau tenang saja." Hima menyodorkan kotak rotinnya itu pada Sai yang duduk di belakang, "Ayah mau? Ini tidak ku buat sendiri sih, Sarada kemarin memberikannya padaku,katannya dia mau mencoba membuat bakery, tapi ini cukup enak kok."
Sai memilih satu stik roti dan mulai memakannya, "Ya, cukup enak, terima kasih." ia mengunyahnya sampai menghabiskan semuanya, "Kasus kalian cukup kuat, ini pasti tidak akan berlangsung lama, Sumire pasti akan langsung diadili, ia tidak punya argumen atau bukti kuat untuk mendukungnya."
"Kau ini, tidak sopan." Inojin menoyor kepala Hima sembari mengambil roti lagi, sembari mengunyah ia mengganguk pada ayahnya melalui kaca spion, "Benar, ia tidak akan punya pembelaan." Inojin membuka mulutnya setelah Hima menyodorkannya stik roti itu lagi, "Ayah kenapa malah terkekeh seperti itu sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
FanfictionKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...