Syarat

136 18 4
                                    

[WARN!]
konten ini menyinggung topik dewasa yang mungkin tidak pantas untuk beberapa pembaca, mohon kebijakannya untuk memilih bacaan

Sakura mungkin mengiyakan permintaan Inojin kali ini, tapi ia tetap berulang kali diperingati untuk memberitahukan seluruh vonisnya secara utuh. Manik biru lautnya itu menatap prihatin pada sosok yang kini tertidur lelap di bawah pengaruh obat penenang, setelah sempat ia kembali meracau lagi. Sudah berapa banyak luka yang dia torehkan? Haruskah ia menabur garam di luka yang belum sempat kering dan selalu tergores kembali itu?

"Kita memang tidak bisa punya anak lagi Hima, tapi aku harap kau tidak menyalahkan dirimu ya?" ujarnya, tentu saja ia katakan itu karena yakin istrinya tidak bisa mendengarnya.

"Karena semua yang kau alami ini adalah salahku." Berulang kali ia memperhatikan gerakan naik turun dari istrinya itu yang bernapas dengan konstan atau sesekali menghitung tetesan infus yang jatuh di selangnya. "Maaf, seharusnya aku bisa melindungimu. Mungkin.. seharusnya kau tidak perlu bertemu denganku saja ya?"

Ia menyandarkan punggungnya ke kursi besi yang ia seret sendiri dari ujung ruangan itu, tapi tetap tidak melepaskan genggamannya pada jemari lembut yang dibalut kasa penutup jarum infus itu. Menatap langit-langit seolah menerawang, melakukan sesuatu yang sangat sangsi ia lakukan sebagai yang ia bilang manusia waras itu, berangan-angan.

"Kau bisa menikahi orang yang lebih mencintaimu. Mungkin yang lebih baik, tampan, dan–yaa melebihiku dari segala aspek. Mungkin dengan begitu kau bisa bahagia...

"Haah kau tidak perlu berurusan dengan pria tak punya hati sepertiku, terjebak umpan ibu mertuamu sendiri, menghancurkan masa mudamu, rangkaian drama dengan selingkuhan suamimu dan yah.. Semuanya.. Ah astaga banyak sekali yang sudah ku lakukan padamu ya?"

Ia mendekat lagi, melipat kedua tangannya di atas ranjang dan menempelkan kepalanya dengan sempurna di atas sana, memposisikan pandangan matanya agar mendapatkan potret sempurna dari wajah yang tengah terlelap itu.

"Aku yakin yang aku punya dengan Sumire bukanlah perselingkuhan tapi.. Aku minta maaf atas itu, Sumire melakukannya karena ia mencintaiku, jadi.. Aku rasa aku juga bersalah."

"Tidak kok, kau tidak sepenuhnya bersalah." Inojin seketika terperanjat dan tegap kembali, berkedip berkali-kali memastikan istrinya masih sungguh terlelap di depannya, lalu siapa itu?

"Ini, makanlah dulu, kau belum makan apapun." ia menerima yakisoba itu dengan sedikit tidak percaya melihat kawan lama–kakak iparnya ikut menarik kursi besi untuk duduk di sampingnya. "Kau tidak jadi mau membunuhku? Ah–atau ini makanan terakhirku?"

Boruto menaikkan kedua dahinya sembari mengunyah yakisoba nya, melihat adiknya yang sekali lagi terlelap begitu lama di bawah pengaruh medis. "Tidak, makan saja, aku hanya ingin menemani Hima."

"Kau pasti membenci fakta kalau aku ini jadi adik iparmu ya," ujarnya, ia menatap nanar istrinya lagi, mempertanyakan hal yang sama perlukah ia beritahu itu semua? "Menurutmu, apa Hima harus tahu?"

"Tahu apa?" tanyanya, Inojin menunjukkan telapak tangannya pada posisi Hima yang membuat Boruto paham kemana maksudnya. "Ah ya.. Entahlah, aku juga tidak yakin."

"Aku tidak mau Hima tahu itu, tapi lama kelamaan dia akan tahu kan? Dia mungkin akan bertanya-tanya kenapa dia tidak kunjung hamil lagi padahal kami aktif mela–"

Can We Fall In Love? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang