Transaksi itu dan Pertemuan Kita

106 11 0
                                    

"Kenapa dia tidur terus? Apa tadi aku terlalu banyak memberinya susu?" Hima terus saja menggengam jemari Inoyoshi yang sebenarnya sudah siap melepaskan genggamannya karena sang empu sudah terlelap.

"Kan sudah ku bilang, bayi itu banyak tidur, entah kau memberi sedikit atau banyak susu, dia akan tetap tidur." Inojin membalas tanpa mengalihkan perhatiannya dari tumpukan pakaian yang berpindah dari keranjang cucian ke lemari. "Ini begini saja ya disusunnya?"

"Ya, begitu saja," sautnya, sama, tidak mengalihkan perhatiannya sedikit pun, "Nanti setelah dia bangun, kata Mama lebih baik dimandikan dulu, kau bantu aku ya."

"Boleh saja," balasnya sibuk menata pakaian-pakaian itu sesuai kategori dan warnannya, ya sifat perfeksionis putra tunggal Shimura Sai itu tetaplah tidak berubah. "Kau tahu caranya? Aku tidak pernah melakukannya."

"Waktu aku pindah ke rumah Mama, aku berlatih dengan boneka bayi milikku waktu kecil." Mereka terus berinteraksi lewat suara tanpa melirik satupun sang pemilik suara itu, berada di ruang yang sama namun sibuk dengan halnya masing-masing namun tetap memiliki kaitan di antaranya.

"Haa saat kau kabur ya." Inojin akhirnya memasukkan lipatan pakaian terakhir pada lemari itu, menutupnya dan bersiap mengangkat keranjang cuciannya kembali ke ruang cuci, "Nah sudah."

"Tidak kabur ya! Aku kan jelas bilang aku tidak mau pulang ke rumah ini dulu. Jadi.. Teknisnya aku sudah minta izin padamu." Suaminya itu hanya memutar bola matanya dan berdiri menuju ruang cuci, "Aku turun dulu ya."

Hima hanya mengganguk sembari terus mengagumi putranya yang terlelap dengan syahdu. Bibi Sakuranya itu memang benar, ia memanglah putra Inojin, setiap lekuk wajahnya itu benar-benar jiplakan sang ayah. Mengingat kembali bagaimana perjuangannya mendapati putra secantik ini. Membuatnya kembali mengingat perkataan yang mungkin seharusnya ia lupakan, tapi kemudian ia hanya menghela napas dan tersenyum sembari melepas perlahan genggaman tangannya dan mengecup pucuk kepala putranya itu.

"Kau tahu? Jika Ibu benar hanyalah bayaran Kakekmu, aku rasa sekarang aku sudah tidak perduli lagi. Transaksi itulah yang membuatku bertemu lagi dengan Ayahmu dan memilikimu. Kau memang benar keberuntunganku Yoshi."

Genggaman tangan yang ikut terhenti di gagang pintu bersamaan dengan perkataan yang tanpa aba-aba meluncur itu, ia sekuat tenaga tidak membuat pintu itu bergeser sedikitpun agar deritnya tidak terdengar oleh seseorang di dalam sana. Sepertinya kata orang lama itu tidaklah selalu salah, berbohong memang tidak akan pernah jadi hal yang baik.

"Maaf Papa aku tidak berhasil menutupinya lagi, tapi aku berjanji, aku tidak akan membuat Hima menyesali keputusanmu," bisiknya, tentu saja pada dirinya sendiri.

"Maaf, aku membohongimu lagi," ucapnya setelah mengumpulkan sedikit keberanian untuk akhirnya mengungkit topik tidak menyenangkan itu, "Aku berjanji pada Papa untuk menyembunyikannya, tapi ternyata, kau tahu lebih dulu ya?"

"Jadi sekarang kau sudah tidak aneh lagi memanggil Papaku Papa?" kekehnya, Inojin juga ikut terkekeh sembari mendekati Hima dan mulai mendekapnya dari belakang lagi, sepertinya itu sudah resmi menjadi hobi barunya. "Aku tahu dari Kak Sumire sesaat sebelum dia-ya mengoperasiku atau apalah itu." 

"Sumire?" si lawan bicara hanya menggangguk meninggalkan lebih banyak tanya baginya, "Aku tidak pernah cerita soal itu, darimana dia mengetahuinya?" Hima hanya mengangkat kedua bahunya, tetap sibuk mengagumi mahakarya Tuhan yang lahir dari dirinya itu. "Kau..sungguh baik-baik saja?"

"Hum? Kenapa aku harus tidak baik-baik saja?" Hima akhirnya melepaskan genggaman tangannya dari Inoyoshi yang masih tertidur pulas, meraih lingkaran kedua tangan suaminya yang mendekap tubuhnya itu. "Menikahimu itu memang tidak mudah, tapi aku rasa semua pernikahan pasti punya fase tidak mudah nya kan?" 

Can We Fall In Love? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang