[WARN!]
Konten ini mengandung adegan kekerasan fisik dan psikis yang bisa saja menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi sebagian pembaca, harap bijak dalam memilih bacaan___
"Akh! Sialan! Ayo bergerak!" makinya memukul setir tidak bersalah itu begitu ia terjebak kemacetan yang sangat panjang.
Pupil matanya seketika terperanjat begitu sambungan telfon itu terputus dengan suara yang ia yakin dentingan pisau sebagai nada terakhirnya. Inojin seketika keluar dari mobilnya dan berlari menuju lokasi yang ia dapatkan begitu melacak nomor ponselnya Hima, atau lebih tepatnya dari aplikasi lokasi yang ia tautkan antara ponselnya dan ponsel Hima.
"Sumire sialan! Kenapa juga Hima menemuinya sih?! Kenapa dia tidak bilang apa-apa padaku?!"
Menembus kerumunan kendaraan yang memberinya klakson berkali-kali karena pergerakannya yang sedikit menghalangi lajur kendaraan yang hendak menyalip kendaraan lain. Namun ia tidak perduli, hatinya penuh dengan ketakutan, dan keyakinan bahwa Hima benar-benar bisa kehilangan napasnya di tangan wanita itu kapanpun juga.
"Bertahanlah sebentar, aku akan kesana."
___
"Bayimu pasti akan sangat tampan seperti ayahnya bukan?" seringainya, dengan kekuatannya yang hampir habis entah karena larutan apa yang Sumire taruh dalam kain yang menutupi hidung dan mulutnya itu, Hima tetap berusaha membuka ikatan pada tangannya yang terikat di belakang, terus memperhatikan kalau lawannya itu hanya fokus pada wajahnya.
Srettt
Hima berdecit, teriakan yang tersendat di antara kain itu. Baru saja ia bersyukur gadis itu meletakan pisaunya setelah merobek sedikit bajunya, ia malah dikejutkan dengan aksinya yang benar-benar merobek bagian bawah bajunya itu dengan sekali tarikan yang menampakkan sempurna perut besarnya. Ah tidak, dia tidak benar-benar akan mengoperasinya disini kan?
"Oh kalau anakmu perempuan?" Sumire melanjutkan dialognya sendiri sembari memilah pisaunya lagi, ia menggeleng dan berdecak, "Ah tidak, Inojin pasti tidak mau anak yang jelek sepertimu."
"Tidak, kau cantik kok." ia mengangkat sebilah pisau kecil yang sepertinya sudah diasah, "Hanya jelek, kau tahu? Bodoh, naif, serakah."
Ia mendekati Hima lagi, sebelum ia benar-benar meletakkan pisau itu pada perutnya, seolah mengukur harus sejauh mana ia menyayat itu. "Sebelum aku membiusmu, ku beritahu kau satu hal. Setidaknya, kau bisa istirahat dengan tenang."
"Kau tidak penasaran alasan kau menjadi istrinya sebelum lulus? Ah apa kau percaya pada karangan bodoh ayahmu itu yang bilang dia dan Paman Sai berjanji akan menikahkan kalian waktu remaja?"
Hima meliriknya bingung, sorot matanya teralihkan dari pisau yang siap membunuhnya dan bayinya kapan saja. Darimana Sumire tahu itu? Tangan di belakangnya bahkan berhenti sejenak dari usahanya melepaskan diri, seperti sangat ingin mendengar informasi yang ia tidak pernah tahu kenapa itu.
"Kau hanyalah pembayaran hutang ayahmu Hima."
Matanya membelalak dengan sempurna mendengarnya, namun sepersekian detik kemudian ia menutupnya sangat rapat sambil meringis karena Sumire sepertinya ingin bersenang-senang dengan menekan perutnya sepenuh hatinya.
"Itu peringatan untuk bayimu, agar dia tidak terkejut melihat ini."
Hatinya tidak merasa iba sedikitpun melihat Hima yang meringis kesakitan tidak berdaya, baru saja ia membuat sayatan kecil di area yang ia tandai sebelumnya, belum sampai ia benar-benar menusuknya untuk memastikan kehidupan di dalam sana menemuinya, kedua tangannya sudah terkunci rapat dalam dekapan paksa seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
Fiksi PenggemarKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...