"Apa masalahmu? Kau harusnya bersyukur aku tidak memecatmu, begitu kau jelas-jelas hampir membunuhku," ujarnya menaikkan satu alisnya sebagai respon atas lemparan surat peringatan yang dilayangkan pada gadis didepannya pagi ini.
"Tapi kau tidak mati." Sumire mengambil paksa surat peringatan yang telah ia lempar dan menyodorkannya di depan mata Inojin, "Beraninya kau melakukan ini padaku."
"Apa katamu? Beraninya aku?" Inojin bangkit, memaksa Sumire mundur dari posisinya sekarang. "Kau yang berani-beraninya membuatku nyaris mati di depan istriku."
"Ha! Istri katamu? Dia yang dulu kau katakan sebagai anak rekan Ibumu di depanku? Ah, sekarang kau benar-benar masuk ke perangkap Ibumu ya?" sindirnya, Sumire mengetukkan jarinya di atas meja berulang-ulang. "Jangan bohongi dirimu sendiri Inojin, kau bertahan dengannya hanya demi bayi itu kan?"
"Kau juga menggunakan bayimu untuk bertahan denganku." Sumire tersentak, namun menyeringai kembali, memutar jalurnya dan mendekati Inojin, berdiri tepat di samping kursi kerjanya itu.
Ia mencodongkan tubuhnya tepat di depan wajah Inojin, berusaha untuk menggodanya,"Ya aku memang berbohong atas bayiku, tapi apa kau yakin Hima juga tidak berbohong atas bayinya?", Sumire memperpendek jarak di antara mereka dan berbisik, "Kau yakin itu bayimu?"
PLAK!
"Jaga ucapanmu." Inojin mendorong keras Sumire menjauh darinya setelah melayangkan tamparan itu, "Aku menahan diri karena kau seorang wanita, tapi mendengar ucapanmu itu, aku yakin kau pantas mendapatkan tamparan itu."
"Kenapa kau begitu marah atas istri yang kau nikahi bukan atas kehendakmu?!" Sumire memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan itu, ia tidak meringis, tapi rasa nyeri itu menjalari seluruh wajahnya.
"Apapun alasanku melangsungkan pernikahan dengannya." Inojin mendekat, melepas telapak tangan Sumire yang menutupi bekas kekasarannya, memperhatikan luka itu dengan saksama, "Seperti yang pernah ku katakan, Hima itu istriku, dia adalah kepunyaanku, menjauhlah dari apa yang menjadi kepunyaanku."
Inojin berbalik dan mengambil sesuatu dari salah satu laci kerjanya, lalu berbalik kembali dan menyodorkan salep luka pada Sumire yang kembali memegangi pipinya. "Obati dengan ini."
"Kau menyakitiku lalu memintaku mengobatinya?"
Inojin tersenyum, ia menggeleng perlahan, menarik kembali salep itu, mengurungkan rasa kemanusiaan yang merasukinya beberapa detik lalu. "Baiklah ku anggap kau tidak membutuhkannya."
Ia memandangi wanita itu yang menatapnya penuh kebencian, seolah siap untuk berusaha membunuhnya lagi. Namun perlahan, sorot mata itu perlahan berubah sendu, menatap kasihan wanita yang menggebu-gebu di depannya.
"Berhentilah mencintaiku Sumire."
"Maksudmu? Kau pikir berhenti itu semudah itu?"
Inojin tersenyum tipis seraya menggeleng pelan menanggapinya, mengingat seseorang yang begitu keras enggan keluar dari pesonanya.
"Tentu tidak, aku tidak meragukan itu. Tapi cinta ini hanya akan menyakitimu, kau tahu kan aku tidak akan pernah datang untukmu."
"Kenapa tidak bisa?" Raut sangar penuh ambisi yang ia tunjukkan perlahan-lahan menjadi temaram.
"Aku sudah datang untuk orang lain." Inojin mendekatinya, berniat menyentuhnya untuk sekedar menenangkannya, tapi semua itu ia urungkan sesaat setelah kedua tangannya digenggam erat oleh wanita yang perlahan menitikkan air mata.
"Kenapa kau tidak pernah melihatku? Tidakkah kau sadar aku berbeda dengan jajaran gadis yang mengejarmu saat SMA dulu?"
Inojin perlahan melepaskan genggaman itu. "Sejujurnya, aku tidak mengerti soal itu. Tapi, mungkin alasan yang paling masuk akal atas pertanyaanmu adalah, sejak awal, aku memang tidak tertarik padamu."
"Apa hal yang Hima punya yang aku tidak punya?" bulir matanya berhenti, emosi bercampur kecewa tercetak jelas di kedua matanya.
"Obsesimu." Singkatnya.
Sumire tertegun, mematung seketika, menatap penuh arti pada pria di sampingnya yang perlahan malah mengoleskan salep luka itu untuknya. Lalu dengan santainya berbalik untuk menghampiri kotak obat di laci sudut ruangan itu.
"Hima tidak punya obsesimu. Hima tidak punya ambisi kuat untuk memilikiku sepertimu." Inojin berbalik lagi, tetap pada tempatnya, "Aku tidak menyalahkanmu untuk itu, aku hanya menjawab pertanyaanmu."
"Tidak mungkin." Surai ungu yang ia ikat dengan rapi merembak berantakan bersamaan dengan kepalanya yang menggeleng dengan kuat, menatap tajam pria yang kini berdiri jauh di depannya. "Jelas-jelas dia selalu mengekorimu, dan kau bilang dia tidak berambisi memilikimu?"
"Dia hanya ingin aku menyadari perasaannya." Inojin menerawang ke arah jendela yang tertutup gorden tipis itu, menyaksikannya perlahan menari tertiup angin, "Tapi kau ingin aku menegaskan kepadaku bahwa aku ini milikmu."
"Ah.. Jadi kau sudah benar-benar jatuh ke perangkap Ibumu ya?" Sumire bertepuk tangan dan tertawa, mendentum ke seluruh penjuru ruangan, kemudian tersenyum sendiri laksana orang yang sudah hilang akal sehatnya. Ia melangkah pergi, sebelum pintu itu menutup sempurna ia melirik pria itu lagi dan berbisik, "Lihat saja, aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan saat aku usik kepunyaanmu itu."
Meski lirih, Inojin dengan jelas dapat mendengar nada ancaman yang tertuju untuk istrinya. Sikap tangguh yang ia tunjukan sedari tadi seketika runtuh membayangkan akan senekat apa langkah Sumire kedepannya. Dia sudah menusuknya bagaikan itu bukanlah apa-apa, apa lagi yang bisa dilakukan wanita itu?
•••
"Kenapasih? Kenapa aku mendadak tidak boleh kemana-mana?" cemberutnya sebal, ia bahkan membiarkan sup miso panas itu kehilangan uapnya saking enggannya ia menyentuh pemberian suaminya itu.
"Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu. Kehamilan di usiamu itu beresiko." dalihnya, ia menyodorkan mangkuk miso itu lebih dekat padanya, "Mau ku hangatkan?"
Hima menggeleng, "Aku baik-baik saja! Jika terjadi sesuatu padaku aku pasti akan langsung menelfonmu!" ia menyodorkan mangkuknya lebih jauh, menolak "suap" nya itu mentah-mentah.
"Hanya sampai kau melahirkan Hima, kau bisa undang Sarada atau Choco setiap hari, atau Boruto juga boleh." Inojin membawa mangkuk itu untuk dihangatkan, sembari tetap memperhatikan ekspresi istri kecilnya itu yang tidak kunjung berubah.
"Tidak mau! Kau juga tidak akan ada sepanjang hari di rumah untukku kan?" Hima semakin sebal akan titah mutlak suaminya itu. Namun, secercah pertanyaan terlintas di pikirannya, apa yang terjadi padanya hari ini?
"Kalau aku diam di rumah terus, kita tidak akan punya uang untuk bayi kita nanti." Denting dari mesin penghangat itu menjadi jeda untuk kalimatnya, setelah dengan hati-hati mengeluarkannya dan menyajikannya lagi untuk kedua kalinya di depan Himawari. "Penghasilan belum bisa jatuh dari langit."
"Serius deh, kenapa kau tiba-tiba seperti ini? Apa terjadi sesuatu?"
"Tidak. Tidak terjadi apa-apa," sanggahnya, dia tidak bisa menceritakan hal yang akan membuat Himawari cemas sekali. "Kan aku sudah bilang, aku hanya khawatir."
"Tidak akan ada apa-apa." Hima meraih lengan suaminya itu, mengusapnya untuk menenangkannya, "Aku akan baik-baik saja, aku bisa kok menjaga bayi kita dengan baik."
"Tidak bisa Hima, tidak bisa. Kau berhadapan dengan orang gila. Bahkan aku tidak bisa menjaga diriku darinya, bagaimana denganmu menjaga bayi kita darinya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
FanfictionKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...