Entah sudah berapa lama gadis itu menunggu di sana, dan entah sudah berapa kali juga wanita berpakaian rapi itu memintanya pergi dari situ karena jujur mulai menggangu kenyamanannya. Atasannya itu sudah berpesan agar tidak mengizinkan wanita ini masuk, tapi paksaan orang ini benar-benar tidak bisa ia tandingi.
"Kemana saja kau?! Kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu disini?!" hardiknya seperkian detik setelah mendengar pintu itu berderit perlahan, emosinya semakin memuncak begitu melihat hadiah apa yang menyambutnya, "Berani-beraninya kau membawa dia juga kemari?!"
"Dia bisa kemari denganku," ujarnya dengan tenang, "Ah ya apa yang membuatmu menungguku?"
"Janjimu, kau bilang kau akan menikahiku, tapi mana?!" Sumire berteriak dengan keras, menciptakan kerumunan yang berebut tempat terbaik untuk menguping apa yang tengah terjadi di kantor bosnya itu.
Inojin seolah mengerti, ia mempersilahkan Hima untuk duduk dulu seraya berbisik untuk menenangkannya yang mulai bingung dan ketakutan dengan sambutan yang ia terima di kantor suaminya itu.
"Aku berjanji untuk itu karena kau bilang kau punya bayiku. Tapi ternyata tidak, jadi aku tidak punya alasan untuk menikahimu."
"Lalu? Apakau juga punya alasan kenapa menikahi bocah itu?" Ia menunjuk kasar Hima yang terduduk bingung di sofa itu, Inojin berusaha bersikap tenang dan memindahkan posisinya tepat di titik dimana jari telunjuk Sumire menunjuk, menurunkannya perlahan.
"Ada, orang tuaku dan orang tuanya memintaku menikahinya." Inojin tersenyum, ia tidak membalas setiap jawaban bernada tinggi itu dengan nada yang sama, biarlah orang di luar beranggapan dialah bajingannya. "Yah, pada awalnya memang seperti itu."
"Hoo jadi kau mulai mencintainya begitu?" Inojin menaikkan bahunya dan tersenyum sedikit, mengganguk pelan dan menjawabnya dengan santai, "Mungkin bisa dibilang begitu."
"Lalu kenapa kau tidak bisa mencintaiku juga? Aku menunggumu lebih lama dari siapapun, aku selalu berada di belakangmu setiap saat, tapi kenapa tidak sedetikpun kau pernah melihatku?!" Sumire meremas kerah kemeja pria itu, Hima bangkit berniat melepaskannya namun berhenti kembali begitu Inojin menyuruhnya untuk tetap diam.
"Kau mengenalku bahkan lebih lama dari istriku sendiri, harusnya kau tahu orang seperti apa aku, begitu tahu itu, seharusnya kau tidak menunggu hal yang kau sudah yakin tidak akan datang padamu." Inojin melepaskan cengkeraman wanita itu tanpa merapikan kembali kerah bajunya, "Aku minta maaf karena aku tidak bisa membalas cintamu itu, kau tidak perlu tergesa-gesa melepaskanku karena itu akan sangat menyakitimu, selama proses itu mari kita berjanji untuk tidak menggantu satu sama lain."
Sumire seketika melemas, menahan tangis yang entah berapa lama sudah menggenang di pelupuk matanya, ringisan yang tersembunyi di tundukkan kepalanya perlahan-lahan ia tunjukkan ke hadapan pria yang berbicara dengannya itu.
"Kalau aku tidak bisa memilikimu." Sumire akhirnya bicara lagi, Hima mulai was-was melihat jarak di antara suaminya dan wanita itu semakin menipis. Ia bangkit dan pelan-pelan memperpendek jaraknya juga dengan kedua orang itu.
Sumire memandang Inojin penuh emosi, cintanya yang dipenuhi obsesi itu telah membuatnya gila dan buta akan pria di depannya itu. Ia mencengkeram kerahnya kuat-kuat, Hima berusaha keras mendekat, namun Inojin memerintahkannya untuk mundur.
"Menepi Hima, aku tidak mau kau terluka." Himawari mengangguk walau dalam hati ingin membantah, ada kehidupan lain yang harus ia lindungi juga.
"Apa maumu?" Inojin berbalik pada Sumire yang masih menatapnya dengan emosi dan kecewa yang bercampur pasti di matanya.
"Kau." Sumire berapi-api, giginya bergemeretak hebat, meraba sesuatu dari balik sakunya dan menancapkannya tanpa ragu pada bilik kiri perut pria itu. "Kalau aku tidak memiliki, makan bocah ini juga harus kehilanganmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
FanfictionKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...