Putusan Pengadilan

170 15 3
                                    

Mereka kembali memasuki tempat dengan atmosfer memuakan ini. Hima menyesali dirinya yang makan dengan porsi kecil tadi pagi yang membuatnya kelaparan saat ini, seolah mengabaikan sorot tajam penuh kebencian yang menembus pada dirinya, dalam pikirannya hanyalah bagaimana sidang ini selesai dengan cepat dan dia bisa pergi makan sesuatu. Namun, ketukan palu Sang Hakim di depan memaksanya kembali pada kenyataan.

"Setelah menelaah semua bukti dan kesaksian para saksi, Nona Shigaraki Sumire didakwa bersalah atas tindakan pembunuhan berencana dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup." 

Palu kembali diketuk, beberapa menyayangkan dakwaan itu seolah ingin wanita cantik ini dihabisi saja, termasuk Inojin. Berbeda dengan suaminya, Himawari merasa lega karena ia berpikir, ia tidak membuat seseorang ditembak hingga mati hari ini. 

"Karena dugaan kesehatan psikis dari tersangka, kami akan mempertimbangkan banding dari pihaknya untuk melakukan rehabilitasi selama enam bulan." 

Tidak ada yang fokus saat hakim membacakan detail atas dakwaannya, terutama pihak penggugat yang fokus mengaitkan diri masing-masing, jika bisa, mereka pastilah sudah menghambur ke pelukan tangan masing-masing. Sebagai gantinya mereka hanya bisa menautkan genggaman tangannya sembari menelisik dengan sorot mata lembut itu, yang disambut dengan sangat tidak menyenangkan oleh si pihak tergugat. 

"Boleh aku bicara dengan Terdakwa sebelum ia dibawa pergi?" permintaan tiba-tiba itu mengagetkan semuanya, setelah diberi izin, gadis polos ini melenggang pada si mantan pembunuhnya.

"Kau mau menertawaiku? Kau bangga karena telah menang di peradilan payah ini?" hardik Sumire sebagai sambutan atas senyum sopan dari si mantan korbannya. 

Hima menggeleng, "Tidak, aku bersyukur kau tidak dihukum mati, kau melakukan ini karena mencintai suamiku, mungkin kau pikir akulah orang ketiga dalam hubungan kalian. Tapi takdir memang bekerja seperti ini, aku harap kau menjalani hukumanmu dengan baik ya Kak? Paman Pengacara itu baik sekali mau mengabulkan permintaanku."

"Permintaan?" Ia menatap bingung pada gadis yang malah bersikap hangat padanya. 

"Nona Yamanaka lah yang meminta keringanan hukumanmu, karena ia adalah salah satu penggugat maka Hakim dapat mengabulkannya. Kau seharusnya dijatuhi hukuman mati Nona." Pengacara Inojin tiba-tiba menyela, membawa berkas yang menunjukkan itu dengan tuannya di sampingnya yang entah sejak kapan sudah berpindah untuk mendampingi istrinya. 

Perasaan hangat yang menjalari Sumire cepat-cepat ia tepis, tidak mungkin ia akan merendahkan harga dirinya hanya untuk berterimakasih pada sosok yang ia anggap sebagai pencuri si pujaan hati. Matanya penuh dengan kebencian namun air mata menumpuk di pelupuk matanya tidak dapat menyembunyikan apa yang mendadak terasa disana. 

"Mama bilang tidak baik membalas kejahatan dengan hal yang sama. Sebagai ganti karena kau hampir memberikanku kematian, aku memberimu kesempatan untuk melanjutkan hidupmu, walau di penjara, masih banyak hal yang bisa kau lakukan. Aku dengar penjara sekarang punya banyak program bermanfaat untuk para tahanannya." Hima tetap tidak berubah, walau entah berapa banyak ia dikikis dan terluka karena perputaran tiba-tiba dalam hidupnya, sisi manis dan polos miliknya tetap akan selamanya ada disitu. 

Sumire diam tidak berkutik, tidak biasa mendapatkan perlakuan dan perkataan seperti itu, mulutnya terbiar membuka tanpa bisa mengeluarkan suara apapun. Masa kecil pahit yang ia dapatkan dari tempat kumuh yang membesarkannya seolah perlahan lenyap hanya karena beberapa kalimat dari seseorang yang ia anggap hambatan. Petugas membawa Sumire pergi ke selnya kembali sebelum mengurus kepindahannya. Tetap, meninggalkan kata itu tergantung tak terucap, ditelan oleh gengsi dan amarah yang tak kunjung padam, namun binar di matanya itu sudah cukup menjelaskan semuanya. 

"Aku tidak tahu istriku sebaik ini? Kenapa selama ini kau sangat galak padaku ya?" sindirnya, setelah adegan penuh haru itu terlewat.

"Coba katakan lagi. Mungkin aku akan lupa bagaimana kerasnya hardikanmu padaku dulu." Hima balas menyindirnya, selagi berjalan melewati lorong, ia kembali fokus pada perutnya yang kelaparan, "Daripada makan kudapan, bisa tidak kita cari kedai makanan berat saja?" 

Inojin  tersenyum, melihat bagaimana mudahnya dinding amarah yang ia bangun sedari kemarin itu runtuh dalam sekejap hanya karena urusan perut, Ia mengangguk setelah berhasil menahan gelak tawanya. "Baiklah, aku ikut pilihanmu. Jangan terlalu lama, nanti Ibu kerepotan." Ia meniru persis bagaimana Hima mengatakannya tadi pagi.

"Apasih?! Harusnya dakwa Kak Sumire ku berikan padamu saja ya biar kau yang digantung!" 

"Itu sama saja kau memilih menjadi janda dan menjadikan Inoyoshi kita seorang yatim loh, yakin? Setelah kematianku, Ibu dan Ayah bisa saja tidak mau menerimamu lagi, dan mungkin Mama dan Papa akan kerepotan jika harus membiayai kalian seumur hidup.  Mencari pekerjaan selagi menjaga anak itu sulit loh, belum lagi kau bisa saja dihina karena menjadi seorang janda yang ditinggal mati suaminya karena dakwaanmu sendiri? Ish ish ish kau-AKH!" 

Inojin mengusap permukaan tangannya yang kini merah kena bekas gigitan, ia memelas pada Hima yang sangat jelas kembali marah padanya. Melenggang pergi dengan hentakan keras yang membuat banyak mata mempertanyakannya. Tanpa menunggu langkah pria itu, Hima masuk mobil dengan cepat dan menciptakan bunyi dentuman keras saat menutup pintunya. 

"Himaa ayolah! Aku kan cuma bercanda! Hey! Tunggu!" Inojin setengah berlari mengejar langkahnya, urat malunya yang masih sangat aktif itu peka akan keadaan sekitar yang mempertanyakan kelakuannya. Astaga, apa dia akan dituduh sebagai pria tua yang menikahi anak kecil lagi?

---

Karena Hima malah sibuk berkutat-bermain dengan sang putra, Inojin terpaksa terjebak dalam interogasi panjang Ino akan hasil dari sidang tadi pagi. Sisi keingintahuan luar biasa Ibunya itu sungguh tidak terelakan, ia yakin selepas ini Ibunya pasti akan berbual banyak hal pada Hinata, atau mungkin ia akan mengumukannya langsung pada Naruto. 

"Yah aku bersyukur, setidaknya kalian sekarang bisa hidup tenang, iya kan Hima Sayang?" sahut Ino pada si menantu yang sibuk berusaha berkomunikasi dengan putranya yang hanya terkekeh saja. 

"Ah iya Bu! iya!" balasnya acuh, Ino menyadari kejanggalan itu dan bertanya pada putranya sekali lagi namun hanya dibalas dengan angkatan bahu saja. Benar-benar tidak bisa diharapkan. 

"Kami akan pulang sore ini Bu. Sampaikan pada Ayah ya nanti." Tutupnya paksa, telinga malang itu sudah tidak sanggup mendengar ocehan lebih lanjut dari sang Ibu, ia pun bangkit dan hendak ikut bergabung dalam pertemuan kecil antara istri dan anaknya. 

"Ehh kok cepat sekali sih?! Aku belum puas bermain dengan cucuku! Menginaplah beberapa hari lagi ya?" Inojin menyanggahnya dengan cepat, tetap teguh pada pendiriannya untuk keluar dari rumah ini. Pikirnya, Hima bisa kembali pada setelan asalnya jika mereka harus berdua saja di rumah lagi. Sementara Hima di sisi lain ruangan itu, nampaknya hanya larut dalam celoteh tidak jelas putranya saja, tidak tahu menahu tentang apa yang lain katakan. 

Inojin tidak menghiraukan Ibunya lagi dan duduk bersila begitu saja di samping istri dan putranya, mencoba menjadikan bahu mungil itu sebagai sandaran tapi sepertinya sang empunya memiliki radar yang sangat kuat, baru beberapa senti ia mendekat, Hima dengan pintarnya mencondongkan kepalanya untuk mengecup kening Yoshi. Berulang-ulang. Mungkin si bayi pun akan mulai heran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada orang tuanya ini? 

"Soal...psikiater itu...kau masih ingin menemuinya?" Inojin akhirnya bicara sembari menjulurkan jemarinya di hadapan pasang mata seiras miliknya dan bermain dengannya. Membuat imitasi mainan gantungan bayi di sana. "Aku tidak berpikir kau sakit atau semacamnya...Hanya...Aku tahu aku bukan tipikal pendengar dan pemberi solusi yang baik, jadi mungkin akan lebih baik jika kau berbicara dengan orang yang sudah terverifikasi." 

Hima menatapnya sekilas sebelum ikut fokus pada jemari suaminya yang menciptakan gelak tawa kecil dari bibir manis mungil itu. "Kau sadar aku bisa jadi tertekan karena masalahmu ya?"

Ia mengganguk, tidak berani menatap atau mencoba memperpendek jarak lagi. "Jika bukan aku yang bisa memperbaiki dampak yang ku berikan padamu, maka lebih baik jika aku meminta seseorang yang lebih kompeten untuk melakukannya kan?" 

"Baiklah." Inojin mendongakkan kepalanya, mengerjap berkali-kali memastikan pendengarannya tidak berbohong. "Kak Sumire sudah ditahan, tapi bohong jika aku bilang aku langsung baik-baik saja. Aku pikir tidak ada salahnya mencoba kan?" 

Can We Fall In Love? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang