"Jadi kalian benar benar akan bercerai?" Terdengar suara di seberang saluran telepon tersambung disana, menyapa seseorang yang kini kalut dalam keraguan.
Hima mengangguk yang tentu tidak akan dilihat Sarada disana. "Sepertinya begitu,"
"Pernikahan bukan hal yang main main Hima, tidak seperti pacaran setiap ada masalah kau bisa putus dan saat sudah membaik kau bisa balikan lagi."
Gadis bersurai indigo itu termenung, kata katanya ada benarnya juga. Bukan, memang benar, kata kata itu memang benar. Mereka berdua, Inojin dan Himawari sepertinya sudah mempermainkan hubungan suci seperti Pernikahan.
Tercipta jeda yang lumayan panjang disana, gadis di seberang sana hanya menunggu dengan sabar sembari mengerjakan tugasnya, ia mengerti hal seperti ini rumit.
"Kau benar Sarada, tapi ... Semua terlambat, sebentar lagi surat gugatan itu sampai padaku."
"Kau tidak bisa menolaknya saja?"
"Aku ... " Himawari terdiam, untuk kesekian kalinya lagi, "aku sudah terlanjur menyetujui gugatan ini."
"Aku mengerti sih, masalah ini rumit apalagi kau masih muda untuk mengalaminya, tapi tidakkah kau dan kak Inojin berunding kembali? Membicarakan segalanya?"
Kriet ....
"Sudah dulu ya, nanti di sekolah ku lanjutkan." Himawari dengan cepat memutus saluran telepon setelah mendengar persetujuan singkat dari Sarada dan kembali melanjutkan tugasnya setelah suara terbukanya pintu menginterupsi.
Hima melirik sesekali pada pria yang kini menuju kamar mandi, tanpa menoleh sedikitpun. Seolah berpikir, tidak ada siapapun di ruangan ini selain dirinya. Gadis itu hanya bisa menghela napas pasrah setelah ini.
Rentetan demi rentetan kejadian yang terjadi setelah makan malam terus berputar putar di otaknya, perkataan Inojin sebelum kejadian itu berlangsung memperburuk keadaan. Berbagai ingatan menyesakkan menelusup di saat bersamaan di waktu yang sangat sangat tidak tepat.
Hima menunda tugasnya terlebih dahulu, menghela napas berkali kali berharap mendapatkan sedikit ketenangan atau setidaknya satu celah yang bisa ia isi untuk fokus pada tugas yang kini ada dihadapannya.
Matanya melirik dimana sosok pria itu ada, berdiri di depan cermin merapikan piyama yang kini ia kenakan. Ada kegembiraan dan rasa benci muncul bersamaan saat melihatnya.
Himawari kembali pada posisi semula secepat kilat saat Inojin melangkah mendekatinya, jantungnya menggila seketika, harapannya meninggi setinggi langit berharap pria itu mendekatinya dan minimal menyapanya.
Sayangnya, harapan itu harus kembali hancur saat Inojin hanya mendekatinya untuk mengambil map yang berada di samping buku milik Hima dan menaruh ponselnya tanpa meliriknya sedikitpun.
"Aku ada disini kak! Bisakah mata mu yang berfungsi itu melihatku setidaknya?!"
Hima lama lama kesal dengan sikap Inojin yang sangat sangat menjauhinya. Seolah dirinya adalah kuman yang berbahaya dan menjijikkan untuk didekati.
Drt... Drt...
"Kak ponselmu .. " Inojin menoleh pada sumber suara dengan tatapan dingin dan datar, persis seperti saat mereka pertama kali bertemu dulu.
Himawari menunduk, sejujurnya dia selalu takut setiap kali Inojin menatapnya begitu. Seakan akan tatapan seorang predator untuk mangsanya yang siap ia terkam saat itu juga. "Ponsel mu berbunyi kak," ujarnya lagi.
"Berikan padaku," balasnya tetap menatap gadis itu yang kini mengulurkan tangannya memberi ponsel.
Himawari harus mendekat beberapa langkah agar bisa mencapai jarak uluran tangan Inojin itu. "Ini kak," ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
Fiksi PenggemarKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...