Hari Setelahnya

50 1 0
                                    

Setelah urusan sidang selesai, dua sobat karib Hima itu akhirnya diizinkan menemuinya dan bayinya. Entah sudah berapa kali Inojin menyuruh mereka tenang karena kegaduhan singkat yang mereka ciptakan di rumah itu. Bagaimana tidak? Mereka sibuk menjerit kegirangan berpelukan bagai kartun empat sekawan dengan warna-warna terang itu. Apalagi saat mereka melihat Inoyoshi, walau Chocho sempat mengeluhkan kenapa anak ini tidak ada mirip-miripnya dengan Hima, tapi akhirnya ia sadar setelah pergelangan tangannya mendapat setitik bekas merah ngilu dari Sarada.

Karena kegaduhan yang Inojin jelas tidak bisa dan tidak biasa menerimanya, ia meminta agar para gadis itu tidak menggangu pekerjannya di lantai atas dan memberikan kuasa lantai bawah sepenuhnya pada mereka. Kehadiran Inoyoshi menjadi penyelamat karena mereka diharuskan untuk bertindak lebih hati-hati, kalau tidak lantai bawah yang sangat rapi kesayangan Tuan Muda Yamanaka itu bisa saja hancur berantakan.

"Suamimu itu serakah sekali sih! Bagi sedikit kek bagianmu untuk Yoshi, inimah namanya kau dikelilingi dua Inojin!" Chocho menepuk-nepuk pundak Hima yang tengah sibuk menyusui Yoshi dengan botolnya.

"Kau ini bersikap seolah anak Hima mirip orang lain saja, itukan ayahnya. Kak Boruto juga sangat mirip dengan Paman Naruto, apa salahnya? Mungkin, jika Yoshi sudah dewasa, dia akan bersikap lebih mirip Hima daripada sensei." Sanggah Sarada setelah melayangkan toyoran kecil pada kepala temannya itu dan menyodorkan sebungkus keripik kentang rasa sapi panggang pada Chocho, dengan harapan itu akan membungkam mulutnya.

Dan benar saja, itu berhasil menggantikan ocehannya dengan suara kunyah renyah dari mulutnya. "Aww! Terimakasih Sarada!"

Hima hanya tersenyum melihat keduanya, setelah Inoyoshi akhirnya terlelap ia pamit sejenak untuk menidurkannya di kamar. Seperti bayi itu juga lelah setelah hampir setengah hari menjadi "mainan" bagi para bibi barunya yang sangat bersemangat itu. Setelah memastikan Yoshi terlelap dan menyelimutinya dengan baik, ia hanya menilik sebentar pada ruang kerja Inojin, yang terlihat sangat sibuk dan tidak bisa diganggu. Entah ia salah menghitung detik atau apa, pasang mata biru laut yang terpatri pada layar terang itu tiba-tiba teralih padanya.

"Kalian butuh sesuatu?" tanyanya, menghentikan tarian jemari di atas papan ketik datar yang tersambung dengan layar terang itu.

Hima menggeleng, hanya bertengger di daun pintu, menatap suaminya di ujung sana. Walau suasana ruangan ini membosankan, pemandangan di hadapannya tetaplah selalu berhasil menarik perhatiannya. "Aku baru menidurkan Yoshi. Maaf ya kalau kami terlalu berisik, harusnya kami berkumpul di rumah Sarada saja."

"Tidak perlu, kau orang yang ingin dikunjungi mereka, kenapa malah kau yang menghampiri mereka?" Inojin sepenuhnya mengacuhkan komputernya, memusatkan pandangannya pada sosok yang setia berdiri di daun pintu, seolah tidak ada niat menghampirinya. "Kemarilah, ada yang ingin aku perlihatkan."

"Hum? Apa?" tanyanya lagi, ia khawatir jika ia meninggalkan lantai bawah terlalu lama ia akan disambut dengan ledekan jahil dua gadis itu.

"Kemari sajalah, aku ini suamimu bukan penjahat." Hima akhirnya memasuki ruangan yang sangat sungkan ia jamah itu, Inojin menatapnya penuh misteri dan hanya memintanya untuk melihat ke sisi layar di depannya. "Lihat ini."

"Apa ini? Kau kan tahu aku tidak mengerti ini--Hey!" Ia reflek menjauh dua langkah begitu bibir nakal milik Inojin itu tanpa izin mendarat di pipinya, tidak ada yang disiapkan Inojin di layar itu untuk dilihat Himawari. Tapi, apa salahnya trik kecil untuk dapat menjangkau istri sendiri pikirnya.

"Tenanglah, aku tidak akan melanjutkannya." Inojin kembali tersenyum jahil, mendorong kursi kerja beroda itu mendekat dan dengan sengaja menyalip kedua kaki Hima agar kehilangan keseimbangan dan jatuh dengan sempurna di pelukannya. "Tapi kalau kau ingin, bisa saja."

Can We Fall In Love? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang