"Seperti yang orang bilang, tidak semua pertemuan selalu dihadiahi dengan persatuan."
🌛☀️
Gadis itu mematut diri di depan cermin. Gaun biru sederhana dengan rambut yang ia biarkan terurai terpampang di cermin panjang itu.
Hari ini, ia berencana pergi dengan pemuda yang akan menikah sebentar lagi. "Akan melepas masa lajang, harus pergi dengan teman terbaik sebelum nanti tidak ada waktu lagi." Begitu kata pemuda itu kemarin.
Tok tok tok
Gadis itu melangkah ke pintu yang diketuk oleh seseorang. Kala tangannya menarik gagang pintu, nampaklah pemuda berwajah teduh itu, raut kesal pada wajah di hadapannya hampir tak terlihat saking teduhnya wajah yang ia miliki.
"Masih lama? Sudah hampir sejam saya nungguin, sampe udah masuk Zuhur ini, lho. Saya sholat dulu aja, deh. Kamu lagi sholat, 'kan? Mau sholat berjamaah?"
Gadis itu sedikit merengut, masalahnya pemuda itu kalau sudah beribadah pasti khusyu sekali dan tentunya memakan waktu yang terbilang lama untuk gadis sepertinya—membaca Al-Fatihah saja tidak akan sampai semenit.
Gadis itu menganggukkan kepalanya pelan. "Sholat, Kak, tapi gue sholatnya nanti aja, habis kita pergi bareng. Makan doang, pasti gak akan lama."
"Seberapa yakin kamu kalo nanti selesai makan kamu masih hidup? Siapa tau nanti malah meninggal karena keracunan."
Gadis itu mendelik, sedikit kesal karena pemuda itu sudah mengeluarkan kalimat ajaibnya.
"Emang seberapa yakin Kakak kalo setelah sholat nanti gue masih hidup?" balas gadis itu dengan senyuman bangga, jarang-jarang otaknya punya kalimat untuk membalas perkataan pemuda itu.
"Setidaknya kamu meninggal dalam keadaan bertaubat, udah sholat, bukan meninggal dalam keadaan ninggalin sholat dengan sengaja."
Pemuda itu berlalu dengan senyum kemenangan karena tahu gadis tadi tidak akan bisa membalas kata-katanya lagi.
Sang gadis kini bersungut karena kembali kalah dalam urusan silat lidah dengan pemuda tadi. Bukan silat lidah yang ekhem, ya.
Dirinya tidak akan pernah bisa menolak apa pun yang berasal dari pemuda itu. Hatinya bahkan sudah tunduk padanya. Sayang sekali, seminggu lagi hatinya tidak akan bisa berharap untuk mendapatkan pemuda berwajah teduh itu lagi karena pemuda tersebut akan resmi menjadi suami orang lain.
Gadis tadi masih bertahan di dekat pintu, tangannya bahkan masih menggenggam gagang pintu sembari memperhatikan punggung pemuda yang mulai menjauh dari pandangannya. Ada senyum kecil yang terukir di bibir gadis tadi.
"Kalo bukan untuk bersatu, sebenernya apa tujuan semesta mempertemukan gue sama lo, sih, Kak?"
Doakan semoga aku bisa konsisten dalam menulis cerita ini, karena setelah sekian lama akhirnya aku berani untuk buat genre yang ada bau-bau romance lagi. Namun, semua tidak akan lepas dari teka-teki yang udah aku siapkan untuk cerita ini.
Ngomong-ngomong, bagaimana dengan prolognya? Semoga kalian tertarik untuk melanjutkan, ya. Kritik dan saran aku tunggu. ^^
Btw, cerita ini aku buat sebelum masuk ke dunia perkuliahan, mohon maklum jika ternyata ke depannya ada hal perihal dunia kampus yang ternyata salah dalam cerita ini.
Seperti biasa, jangan lupa kritik dan sarannya:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Belas Misi ✔️
ChickLit"Kalau kamu benci dengan perpisahan, berarti kamu tidak punya hak untuk mengasihi pertemuan." "Kenapa gitu, Kak?" "Perpisahan ada karena eksistensi dari pertemuan. Jadi, bukankah kamu seharusnya membenci apa yang bisa membuat perpisahan itu muncul?"...