"Bisakah cerita yang diawali dengan senyum, turut diberi akhir dengan senyum juga?"
🌛☀️
"Tiba-tiba? Buat apa, Tari?"
"Emm ... sebagai ucapan terima kasih dari gue ke lo mungkin, Kak?"
Bulan terdiam menatap Mentari dengan raut wajah kebingungan. Otaknya tidak dapat menerka apa yang sebenernya gadis penunggu rumah keduanya itu rencanakan.
Kelas yang harusnya dihadiri oleh Bulan sebentar lagi sudah tidak menjadi fokus Bulan. Pemuda itu masih memikirkan apa maksud kedatangan Mentari ke gedung kampusnya siang ini.
Tiga Belas Misi Menuju Kebahagiaan
Kalimat itulah yang tertulis pada kertas putih yang tadi Mentari berikan pada Bulan. Sebagai ucapan terima kasih? Hei, berapa kali harus pemuda itu katakan bahwa ia ikhlas untuk menolong?
"Tidak usah, Tari. Saya udah bilang kalau saya ikhlas menolong," kata Bulan.
Mentari menggeleng tegas. "Gini, Kak. Dalam hidup harus ada yang namanya timbal balik, gue mau lakuin hal ini buat lo."
"Tapi–"
"Bentar lagi lo ada kelas 'kan, Kak? Nanti aja mikirnya pas di kafe, gue duluan ya, Kak." Mentari mengambil kertas putih itu dari Bulan.
Mentari melenggang pergi begitu saja tanpa menunggu respon Bulan. Pemuda yang ditinggal itu hanya menggeleng pelan, senyum tipis turut terukir pada bibirnya, menjadi respon terakhir darinya untuk Mentari sebelum fokusnya kembali kepada jam kuliahnya.
🌛☀️
"Woi, Mentari!"
Mentari menghentikan aksinya yang tadi akan membuka pintu kafe tempatnya bekerja. Merotasikan badannya menghadap kepada pemilik suara yang tadi memanggilnya.
Sinar, Faris, Boy, Anetta, dan Lalisa tengah tersenyum ke arahnya. Mentari membalas senyum itu sedikit kikuk tatkala melihat senyum yang Faris, Anetta, dan Boy lontarkan adalah senyum penuh kecanggungan.
"Mau ngapain?" tanya Mentari ketika lima manusia itu mendekat.
"Mampir, sekalian liat bidadari kerja."
Mentari hanya tersenyum geli mendengar kalimat yang Faris lontarkan. Pemuda itu memang masih sama seperti dulu, suka menggoda layaknya buaya darat.
Netra Mentari melirik ke arah Boy dan Anetta yang berdiri canggung, kasus waktu itu memang tidak ada yang melaporkan. Tentu saja membuat Boy dan Anetta, serta beberapa kakak tingkatnya yang terlibat tidak mendapatkan hukuman.
"Hmm ... masuk aja."
Hanya itu yang keluar dari mulut Mentari sebelum ia melanjutkan langkahnya kembali masuk ke dalam kafe itu.
Ting
"Mentari!"
Seruan suara yang lagi-lagi memanggil nama Mentari membuat gadis itu melihat ke sekitar, mencari seseorang yang memanggilnya tadi.
"Kemaren lo– eh? Ngapain ini empat beban dateng lagi?" Mawar yang memanggil Mentari tadi sontak langsung mendekat saat melihat kehadiran tamu yang ia anggap sebagai 'musuh' itu.
"Biasanya juga dateng, War. Namanya juga pelanggan," balas Mentari mencoba menenangkan supaya Mawar tidak membuat kegaduhan lagi.
"Dih? Lo gak inget apa yang mereka lakuin tempo hari?" Sinar bahkan gak ngebela lo sama sekali!"
"Sorry, hehe. Waktu itu mereka cuman lagi khilaf." Faris berkata dengan nada sedikit khawatir, yang dia ingat, Mawar kalau sudah kalap, sangat sulit untuk dibuat jinak kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Belas Misi ✔️
ChickLit"Kalau kamu benci dengan perpisahan, berarti kamu tidak punya hak untuk mengasihi pertemuan." "Kenapa gitu, Kak?" "Perpisahan ada karena eksistensi dari pertemuan. Jadi, bukankah kamu seharusnya membenci apa yang bisa membuat perpisahan itu muncul?"...