29 : Bulan yang Kembali Terluka

71 37 16
                                    

"Luka yang langsung mendapat obatnya kadang kala akan datang kembali, di mana yang memberi luka baru adalah obat itu sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Luka yang langsung mendapat obatnya kadang kala akan datang kembali, di mana yang memberi luka baru adalah obat itu sendiri."

🌛☀️

Mentari masih terbangun, menatap sendu ke arah Faris dan Doy yang memutuskan untuk tidur saling memunggungi. Gadis itu tidak tahu apakah dua pasang mata itu benar-benar tertidur atau tidak.

"Lo mikir kalo Bulan yang maksa kakak gue buat gugurin kandungannya? Bukan, tapi gue yang maksa kakak gue supaya Bulan gak perlu ngambil tanggung jawab yang gak seharusnya dia pikul."

"Ha? Mak–"

"Kenapa? Kaget? Lo akan lebih kaget lagi kalo gue bilang, bahwa yang hamilin kakak gue waktu itu adalah lo sendiri, Bang, bukan Bulan."

"Karena secara gak sadar, lo sendiri yang ngerusak kebahagiaan kakak gue, Bang."

Kilas percakapan setengah jam yang lalu antar Doy dan Faris memenuhi kepala Mentari. Tak ada satu pun kalimat yang terlontar dari Doy usai Faris menyelesaikan kalimatnya, pemuda itu langsung tertidur, beberapa menit kemudian Faris turut menjemput mimpinya.

"Ngerasa bersalah pasti, ya?"

Mentari kembali berbicara entah pada siapa, menerka-nerka bagaimana perasaan Doy setelah tahu cerita tersembunyi yang terjadi di masa lampau itu.

Pikiran Mentari menerawang, mencoba berandai-andai bila dirinya tidak bertemu dengan Bulan. Berandai-andai bila dirinya tidak bertemu dengan Starla dan berakhir bertemu dengan Doy sampai dirinya diganggu oleh Vania.

Mungkinkah ayahnya masih hidup sekarang? Jika dirinya tidak bertemu dengan Bulan, akankah ia masih harus memusingkan misi-misi yang ternyata memiliki rahasia di baliknya?

"Hidup itu terlalu singkat kalau kamu isi dengan berandai-andai, Tari."

Ucapan Bulan terngiang-ngiang di kepala Mentari. Hari itu, belum sampai satu bulan dirinya mengenal Bulan. Kala itu, rindunya pada ayah dan ibu nampak membumbung tinggi hingga bibirnya mulai mengeluarkan kalimat pengandaian.

"Emm, tapi bisa jadi gak, sih, Kak? Kalo seandainya gue gak diganggu sama Kak Vania dan dan teman-temannya hari itu. Mungkin gue bisa pulang lebih cepat, dan bisa nyelametin ayah gue."

Kala itu, Bulan hanya tersenyum kecil. Kopi pada tangannya tidak mendapatkan atensi sama sekali. Dengan manik mata fokus pada gadis di hadapannya, bibirnya kembali terbuka.

"Berarti kalau ibumu masih hidup sekarang, apa ia kita bakal ketemu?"

"Maksud lo, Kak?"

Bulan menghela napas pelan. "Kamu bakal nyangka gak kalo bakal kerja sama orang kayak saya?"

Mentari kala itu menggeleng. Pikirannya mencoba menebak arti tiap kalimat yang terlontar dari mulut Bulan.

"Itu dia, kita ini cuman manusia yang nunggu takdir buat ngarahin kita mau ke mana. Walau kita yang pegang kendali, tapi takdir yang ngasih kita hasil akhirnya, dan itu sama sekali gak bisa diganggu gugat."

Tiga Belas Misi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang