"Semesta sungguh memberi tanggal untuk Mentari bahagia atau hanya sekadar menunda kiriman luka kepada gadis itu?"
🌛☀️
"Sumpah demi apa pun gue gak tau kalo hari itu bukan ayah gue yang–"
Mentari memasukkan sebuah pisang goreng ke dalam mulut Starla yang sejak tadi terus menerus bicara tanpa henti. Mata Starla melotot tak suka sembari mencoba mengunyah pisang goreng yang tadi Mentari berikan.
"Ayah jahat banget gak pernah bilang apa pun ke Starla."
Pria yang baru saja disindir oleh putrinya hanya terdiam sembari menyesap kopi panas itu. Omong-omong, mereka tengah berada di kantin kampus. Mentari tengah menyalin catatan milik temannya kala Starla dan ayahnya datang menemuinya.
"Waktu itu Ayah udah kasih kode, 'kan?"
Mentari dan Starla memicing kala mendengar jawaban pria itu. Otak mereka sama-sama memilah kejadian-kejadian serta ucapan yang pernah pria itu lontarkan. Nihil, tak ada jawaban yang masing-masing temukan.
"Di hari Bulan menerima hasil perihal sidang skripsinya." Pria itu akhirnya memberikan jawaban usai jenuh menunggu tebakan dari dua gadis di hadapannya.
"Akan ada yang sakit hati, dan itu bukan Kak Bintang, yang itu, Yah?" Starla berkata guna memastikan, mendengar ucapan Starla, ingatan jangka pendek Mentari ikut terhubung dan mengingat hal itu.
"Iya, rasa kamu dengan anak saya emang terlalu mudah untuk terlihat, tapi yang saya maksud hari itu, ya, gak jauh tentang fakta masa lalu."
Pria itu menatap ke arah Starla usai mulutnya menyelesaikan sebuah kalimat. Dapat Mentari lihat bagaimana ayah dan anak itu saling memberi kode sehingga salah satu pergi dengan alasan hendak menemui bagian keuangan.
"Saya tau betapa dalamnya luka kamu, Tari," kata pria itu usai sang putri pergi dari tempat mereka.
Mentari hanya tersenyum, enggan untuk berkata apa pun. Sudah jelas keluarga mereka saling memberi luka, tidak ada istilah siapa yang paling tersakiti saat kedua pihak sama-sama berniat menyakiti yang lain.
"Tentang bullying yang Starla dapatkan, saya jelas marah tentang hal itu, tapi kembali lagi, hal itu tidak akan terjadi kalau saya tidak membuat hubungan antara mendiang orang tuamu hancur."
Pria itu tersenyum, sembari mengusap pelan puncak kepala Mentari. Jujur, ada kehangatan yang sama dengan usapan Bulan. Entah sudah berapa lama Mentari dengan Bulan tidak pernah kontak fisik dalam bentuk apa pun itu.
"Berniat untuk memberi maaf dan mengikhlaskan semua?" tanya pria itu sembari memberi seulas senyum, dapat Mentari rasakan keikhlasan dalam senyum itu.
Mentari mengangguk, masih tidak tahu harus mengeluarkan kalimat apa kala otaknya sama sekali tidak menemukan diksi yang tepat untuk saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Belas Misi ✔️
ChickLit"Kalau kamu benci dengan perpisahan, berarti kamu tidak punya hak untuk mengasihi pertemuan." "Kenapa gitu, Kak?" "Perpisahan ada karena eksistensi dari pertemuan. Jadi, bukankah kamu seharusnya membenci apa yang bisa membuat perpisahan itu muncul?"...