"Mentari tidak sadar, bahwa jika saja rentetan pertanyaan baru tersebut menemukan jawabannya, maka kertas putih lusuh itu akan melenceng dari tujuan awalnya
🌛☀️"Rakha itu sepupu jauh saya sebenernya, dari dulu keluarganya gak pernah sekali pun damai sama keluarga saya."
Malam ini sudah masuk malam puasa yang kesembilan belas, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas saat Mentari dan Bulan masih duduk berdampingan di sofa ruang tamu.
"Gak damai gimana, Kak?"
"Perusahaan Tralaksa, jatuh di tangan ayah saya sebagai ahli waris utama, padahal seharusnya perusahaan beserta cabangnya jatuh di tangan anak pertama, ayah dari Rakha itu sendiri."
Mentari mengangguk, telinganya terus terpasang untuk mendengar tiap kalimat yang keluar dari mulut Bulan. Sedikit menarik, seperti cerita yang ada di aplikasi membaca cerita online.
"Masalah di antara keluarga kami makin keruh usai persidangan hari itu."
Mentari menoleh, kalimat yang baru saja Bulan ucapkan menciptakan tanda tanya baru pada otaknya. "Persidangan apa, Kak?"
"Ada deh, kejadian masa lalu, saya males buat ngingetnya lagi."
Otak Mentari kembali timbul tanda tanya, sekelebat bayangan masa lalu tentang bagaimana ayahnya bersikeras melawan ayah Bulan waktu di persidangan dulu seketika lewat dalam benaknya. Mungkinkah persidangan itu yang Bulan maksud?
"Saya datang ke rumahnya kemarin, cuman satpamnya bilang mereka sekeluarga sedang ke luar kota, mungkin next time."
"Gue harap lo bisa bikin sepupu lo paham tentang tanggung jawabnya, Kak, lagipun kalo usia dia seumuran sama lo, udah cukup dewasa, sih, harusnya."
Bulan mengangguk, pemuda itu meminum kopi yang tadi sempat Mentari buatkan, beberapa detik kemudian dia berkata, "Udah cukup banget, jarak umur saya sama dia kalo gak salah beda tiga belas tahun, dia lebih tua dari saya."
"Oh gitu, gue kira seumuran, Kak. Anu, tentang Kak Vania gimana?"
"Saya udah jelasin ke orang tua Vania, syukur alhamdulillah orang tuanya gak menghakimi anak mereka, walau nantinya Rakha tidak mau tanggung jawab, orang tua Vania akan tetap menerima kehadiran bayi itu."
Senyum kecil terbit di bibir Mentari, merasa tenang karena orang tua Vania setidaknya tidak akan membuat keadaan mental Vania makin memburuk.
"Kamu gak mau tidur, Tari? Bukannya besok kamu masih ada ujian?"
Mentari menepuk dahinya pelan, hampir lupa. Bodohnya lagi, dia lupa mempelajari materi yang akan diujiankan besok, alamat hitung kancing yang akan ia lakukan saat ujian nanti.
"Yaudah, Kak, gue mau tidur sekarang, biar nanti bisa bangun sahur lebih cepet, sekalian baca-baca materi pelajaran buat ujian besok."
Bulan mengangguk, baru saja Mentari beranjak, ucapan Bulan membuat aksi gadis itu terhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Belas Misi ✔️
ChickLit"Kalau kamu benci dengan perpisahan, berarti kamu tidak punya hak untuk mengasihi pertemuan." "Kenapa gitu, Kak?" "Perpisahan ada karena eksistensi dari pertemuan. Jadi, bukankah kamu seharusnya membenci apa yang bisa membuat perpisahan itu muncul?"...