05 : Potongan Masa Lalu

198 174 217
                                    

"Namanya memang seirama dengan sang surya, tetapi sinarnya tak pernah bisa semenarik arunika dan swastamita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Namanya memang seirama dengan sang surya, tetapi sinarnya tak pernah bisa semenarik arunika dan swastamita."

🌛☀️

"Tari?"

Mentari yang tengah memakan hidangannya sontak terhenti mendengar namanya disebut. Matanya menatap netra legam yang mirip dengan miliknya itu.

"Kenapa, Ayah?"

"Gimana kuliahmu?"

"Alhamdulillah, lancar, Yah. Belum ada kendala apa pun," jawab Mentari sekenanya.

"Biayanya?"

"Ayah lupa? Anak Ayah ini pinter." Mentari berkata dengan nada penuh percaya diri, sang ayah hanya bisa tersenyum bangga. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ia merasa bersalah.

"Maafin Ayah, ya?" kata sang ayah.

"Maaf untuk? Ayah gak ada salah apa-apa. Udah ah, nanti jadi mellow bahasannya," ucap Mentari berusaha menghentikan topik pembicaraan sang ayah.

Sang ayah hanya menatap sendu ke arah putrinya. Meskipun nasib baik terkadang masih menghampiri keluarga mereka, tetapi tetap saja nasib baik itu karena ulah anaknya, bukan dirinya yang bahkan berdiri sekedar lima belas menit pun tidak kuat.

"Besok mau ke makam ibumu?"

Mentari hendak mengangguk, tetapi ia langsung teringat dengan pekerjaan barunya. "Emm ... Minggu aja gimana, Yah? Besok Mentari ada kerjaan, hari Minggu baru ada waktu luang."

"Kerja apa kamu sekarang, Tari?" tanya sang ayah merasa bingung. Ia tahu anaknya itu suka mengambil pekerjaan, tetapi biasanya bukan pekerjaan tetap.

"Mentari dapet kerjaan di kafe, Yah. Jadi pelayan, lumayan gajinya kok, gapapa 'kan?"

Sang ayah mengangguk, kebingungannya terjawab. Bersyukur dia punya putri sebaik Mentari. Pikirnya, cocok sekali nama yang istrinya berikan untuk putrinya itu, Mentari. Sama halnya dengan matahari, selalu membawa kehangatan di manapun ia bersinar.

Padahal, sang ayah tak tahu bahwa dulu, sinar putrinya itu pernah dengan kejamnya menyengat kehidupan anak-anak yang lain.

Sampai kini pun sang ayah tak tahu, bahwa mataharinya itu memakai topeng untuk menyembunyikan sinarnya yang mulai meredup karena digerogoti oleh karma semesta.

🌛☀️

07:23 WIB

Mentari dan Mawar terduduk di depan pintu masuk kafe Rindu Bulan, tempat mereka bekerja. Masih terlalu awal sebenarnya karena jam masuk kerja mereka adalah pukul delapan tepat.

Bunyi deru kendaraan yang berlalu lalang tak membuat dua insan itu terusik, tetap saja mereka pandangi nama tempat di mana mereka bekerja itu.

"Lo ngerasa beruntung gak, sih, Tar?" Mawar membuka topik pembicaraan.

Tiga Belas Misi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang