"Skenario semesta kadang kala menyamar menjadi sandyakala yang nyatanya menghasilkan rintihan pilu bagi siapa pun yang sudah tak tahan."
🌛☀️
Prang
Pagi masih tertutup kabut saat Mentari membuka matanya karena bunyi pecahan piring yang ia duga berasal dari dapurnya.
"Ayah?" Gadis itu sedikit berseru memanggil sang ayah, karena memang tak ada orang lain di rumah ini.
"D-di sini, Tari."
Mentari langsung bergegas ke dapur ketika mendengar suara parau ayahnya, rasa cemas langsung mendominasi tatkala ia melihat kondisi ayahnya.
Berdiri sembari bertumpu pada tangan yang diletakkan di dekat kompor, keringat dingin mulai mengucur di pelipis sang ayah. Badannya yang gemetar langsung membuat Mentari mengajak sang ayah untuk duduk.
"Berapa kali Tari bilang untuk duduk diem aja, Ayah! Biar Tari yang urus semuanya," ucap Mentari tegas. Ayahnya ini memang keras kepala.
"Ini minum." Mentari memberikan segelas air putih pada ayahnya, lalu bergegas kembali ke kamarnya mengambil alat berukuran kecil bernama *Glukometer.
"Ayah, sini jarinya sebentar, tahan dulu," ucap Mentari setelah kembali ke dapur. Diambilnya sedikit darah ayahnya untuk dijadikan sampel dan diukur kadar gulanya.
220
"Astaghfirullahhal'adzim, Ayah! Semalam obatnya diminum, gak?"
"Lupa, Tari. Ayah baru mau minum nanti setelah makan, makanya tadi mau masak dulu untuk sarapan nanti," ucap sang ayah, masih terlihat lesu. Wajahnya saja sudah terlihat sangat pucat.
"Udah, biar Mentari aja! Ayo, Tari anterin Ayah ke kamar!" Mentari langsung memapah ayahnya menuju salah satu bilik yang tak jauh dari kamarnya, lalu membantu ayahnya agar terbaring di kasur.
"Udah sholat Subuh, Tari?" tanya sang ayah saat Mentari hendak kembali ke dapur.
Mentari mengangguk. "Udah, walau setelah sholat, Tari tidur lagi tadi."
Sang ayah hanya tersenyum mendengar jawaban putrinya. Merasa tak ada lagi urusannya di kamar itu, Mentari kembali ke dapur segera bersiap untuk membuat sarapan.
🌛☀️
Senin mungkin menjadi hari terburuk bagi beberapa manusia. Namun, tidak bagi Mentari. Baginya, semua hari akan menjadi sama buruknya apabila ia harus berhadapan dengan Sinar dan teman-temannya itu.
"Satu ronde berapa biaya lo?" Pertanyaan itu berasal dari lelaki yang memiliki nama Faris Albaren pada almamaternya. Masih ingat dia, 'kan?
Mentari hanya terdiam, gosip itu masih menyebar ternyata. Pantas saja tatapan sinis atau bahkan menjijikkan masih ia dapatkan dari orang-orang yang tadi melewatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Belas Misi ✔️
ChickLit"Kalau kamu benci dengan perpisahan, berarti kamu tidak punya hak untuk mengasihi pertemuan." "Kenapa gitu, Kak?" "Perpisahan ada karena eksistensi dari pertemuan. Jadi, bukankah kamu seharusnya membenci apa yang bisa membuat perpisahan itu muncul?"...