"Rasanya, hati gadis itu sudah terlalu sering meradang. Luka apa pun nanti, bukan apa-apa baginya. Iya 'kan, Mentari?"
🌛☀️
Kalau dilema gadis di negeri ini rata-rata berkaitan dengan jurusan apa yang akan mereka ambil ketika kuliah nanti, maka berbeda sekali dengan Mentari. Bukan tentang jurusan, bukan tentang bagaimana dirinya akan berproses dalam hidup nanti, melainkan karena makin jatuhnya ia pada pesona Bulan.
Hari ini, sepertinya sudah terhitung lebih dari seminggu usai pengakuan cinta yang ia dengar dari Bulan. Mentari bahagia? Tentu saja. Gadis mana yang tidak akan bergembira ketika mengetahui rasanya turut terbalas?
Lalu, apa yang Mentari pusingkan jika rasanya terbalas? Jawabannya adalah Bulan itu sendiri. Pemuda itu pun seolah menghindari Mentari sejak pengakuan yang mampu membuat Mentari makin didekap rasa bahagia.
"Jangan bilang kalo itu cuman bohong? Truth or dare gitu kayak cerita-cerita di Watttpad?"
Siang ini di kantin kampus, Mentari kembali melakukan kebiasaan lamanya— berbicara sendiri. Mencoba menebak, apa alasan Bulan yang terlihat seolah menghindarinya? Seingatnya, terakhir kali mereka bertemu adalah empat hari yang lalu.
"Starla juga kalo ditanya gak jelas banget, apa dia gak suka kalo gue punya hubungan sama Kak Bulan?"
Kembali gadis itu bermonolog, tersenyum pahit kala tersadar sebuah fakta setelah kalimat tadi ia lontarkan.
"Emang gue sama Kak Bulan ada hubungan apa?"
🌛☀️
Semua nampaknya sudah kembali seperti semula, Mentari dan Mawar sudah kembali bekerja di kafe Bulan, Mentari pun sudah tinggal serumah dengan Bulan— sendiri, karena sejak pengakuan rasa dari Bulan, pemuda itu belum menginjakkan kaki di rumah itu lagi.
"Lo lagi ngapain, Tet?"
Sebuah suara berhasil mengalihkan atensi Mentari dari buku tugas di hadapannya, mendongak untuk melihat siapa yang baru saja bertanya.
"Ngerjain tugas kuliah, nanti habis maghrib anterin ke warnet, ya?" Jawaban yang Mentari berikan sepaket dengan permintaan dari mulut gadis itu. Mawar hanya mengangguk sembari mengambil tempat di samping kursi Mentari.
"Si Bulan rasanya jarang dateng ke sini sejak kita balik kerja lagi."
Omongan Mawar kembali membuat atensi Mentari teralih, jarinya yang tadi mengetik pada ponsel pintarnya terhenti sebentar guna membiarkan otak mencari respon yang cocok untuk ucapan Mawar.
"Mmm ... mungkin sibuk ngurusin cabang kafe yang satu lagi." Usai berujar, jarinya kembali melanjutkan tugas yang ia kerjakan pada ponsel pintar itu. Sembari sesekali menyalin pada buku tulis.
"Hubungan lo sama Bulan beneran udah membaik, 'kan?"
Mentari sebenarnya sudah menduga hal itu akan Mawar tanyakan, bahkan setelah sepupunya menyinggung perihal ketidakhadiran Bulan belakangan hari ini. Hanya anggukan pelan yang Mentari berikan, sebelum hening kembali menyergap keduanya. Bangunan tempat mereka bekerja jadi makin terasa sepi karena belum ada pengunjung yang datang lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Belas Misi ✔️
ChickLit"Kalau kamu benci dengan perpisahan, berarti kamu tidak punya hak untuk mengasihi pertemuan." "Kenapa gitu, Kak?" "Perpisahan ada karena eksistensi dari pertemuan. Jadi, bukankah kamu seharusnya membenci apa yang bisa membuat perpisahan itu muncul?"...