01 : Jingga Berbalut Karma

295 200 206
                                    

"Kata semesta, karma tidak pernah salah alamat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kata semesta, karma tidak pernah salah alamat."

🌛☀️

Byur

Lagi, air yang berasal dari keran yang sama kembali disiramkan pada gadis tak bersalah itu. Matanya berulang kali menutup menghindari percikan air yang terasa tajam.

"Rasain lo!" Ucapan gadis lain yang nampak seumuran dengan gadis tadi disambut oleh tawa dari teman-temannya.

"Kenapa belum nangis? Belum cukup gue nyiksa lo, ya? Mau lagi?" Gadis yang menggunakan jaket almamater hijau muda dengan tulisan Sinar Cahyani itu meraih wadah untuk mengambil air lagi.

"Udahlah cabut, kuy. Bosen gue kalo cuman disiram doang," celetuk salah satu dari mereka.

"Mau diapain lagi kalo gak disiram?" tanya gadis dengan nama Sinar Cahyani tadi.

"Jambak? Tendang? Atau ekhem ... lo taulah maunya cowok." Ucapan dari lelaki dengan nama Faris Albaren itu sontak mendapat pelototan dari gadis yang tengah mendapat perundungan. Perasaan takut mulai menguasainya, dia berpikir bagaimana cara untuk kabur sekarang.

"Otak lo gak ada isinya selain selangkangan, cabut ah tugas gue numpuk," ujar Sinar lalu melenggang pergi begitu saja.

Teman-temannya yang sedikit kecewa ikut mengekor di belakanganya, meninggalkan gadis yang sudah mulai menggigil karena kedinginan. Namun, ada senyum tipis yang terbit dari bibirnya.

"Gue tau, Nar. Sebenci apa pun lo sama gue, lo masih pengen kita kayak dulu lagi, 'kan?" kata gadis itu, dia mulai melangkah karena pendar jingga pada langit mulai menghilang, masih banyak yang harus ia urus.

🌛☀️

"Maaf, Tari, tapi saya sudah berkali-kali memberikan keringanan kepada kamu. Saya membutuhkan orang yang disiplin dalam bekerja, menghargai waktu yang diberikan."

Gadis tadi, Mentari. Kini hanya menunduk di hadapan pria yang terlihat masih lumayan muda. Gadis itu tahu apa maksud kalimat dari tuannya tadi. Tangannya memilin baju yang masih sedikit basah karena disiram tadi.

"Ini, saya berikan uang sebagai imbalan kerjamu selama tiga minggu ini. Sekali lagi maaf, Tari, kamu saya pecat." Lelaki itu memberikan beberapa lembar uang berwarna merah, Mentari menerimanya dengan lesu.

"Terima kasih, Bos. Maaf apabila kinerja saya kurang memuaskan," ucap Mentari lalu melangkah keluar dari ruangan itu.

"Cari kerja ke mana lagi sekarang?" batin gadis itu sedikit khawatir. Biarlah, biar itu ia pikirkan nanti.

Tak apa, setidaknya dia masih punya simpanan untuk membeli obat ayahnya. Mentari melangkah santai ke arah rumahnya yang memang tidak terlalu jauh.

Biarlah senja sore ini menjadi bukti bahwa semesta sudah mengirimkan karma pada alamat yang tepat.

Biarlah senja sore ini menjadi bukti bahwa semesta sudah mengirimkan karma pada alamat yang tepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih masih mau membaca cerita ini, aku usahakan agar tidak terlalu membosankan. Sampai jumpa di bagian yang lain. Punya kritik saran, bisa langsung sampaikan, ya.

Tiga Belas Misi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang