13 : Sedikit Bernostalgia

134 106 116
                                    

Berbahagialah dulu, Mentari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berbahagialah dulu, Mentari. Kumpulkan tenagamu sebanyak mungkin, supaya nanti luka yang semesta berikan tidak terlalu menyakitimu."

🌛☀️

"Saya gak peduli, besok kalau kamu belum bayar tunggakan uang kontrak rumah ini, maaf, saya terpaksa harus usir kamu."

"Tapi, Tan, apa gak bisa kasih saya kesempatan sampai minggu depan?"

"Maaf, Tari. Saya udah berapa kali kasih kamu keringanan, banyak orang lain yang juga mau ngontrak di sini."

Mentari menunduk lesu, harus apa ia sekarang? Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Gaji pertamanya dari bekerja sebagai pelayan di kafe Bulan baru akan turun minggu depan.

"Tante, ayah saya–"

"Kenapa?" Nada bicara Ibu pemilik kontrakan itu mulai terdengar tak ramah. "Kamu mau bilang ayahmu baru saja meninggal, 'kan? Saya gak peduli, Tari, yang butuh uang bukan hanya kamu."

"Tapi–"

"Saya males denger alasan kamu, pokoknya kalo besok kamu belum bayar, kamu harus pergi."

Ibu pemilik kontrakan pergi dengan emosi yang ditahan. Mentari merasa maklum, sudah empat bulan ia menunggak.

Kritt

Suara pintu yang memekak tak membuat Mentari melupakan nasibnya. Sendiri, tak ada yang menjaga. Haruskah sekarang ia meminta bantuan kepada Mawar?

"Ah, Mawar pasti udah kesusahan juga, kalo gue minta bantuan ke keluarga dia, yang ada malah makin nyusahin," monolog Mentari.

"Gimana dong sekarang?" Mentari terus berbicara sendiri. Ia tak punya siapa pun lagi kecuali keluarga Mawar, mendiang ayahnya adalah anak tunggal, sedangkan mendiang ibunya hanya memiliki satu adik, yakni ibu Mawar. Kakek dan neneknya sudah meninggal, baik dari ayah maupun ibunya.

"Gak taulah, kampret, pusing gue mikirnya."

Mentari memilih untuk menjemput mimpi, besok ia harus kembali kuliah seperti biasanya. Tidak akan ada perubahan jika dia terus menerus terpuruk akan nasibnya.

"Semoga besok hujan duit, aamiin," batin Mentari sebelum benar-benar jatuh tertidur.

🌛☀️

"Turut berduka cita ya, Tari. Semoga lo selalu tabah."

Mentari hanya mengangguk sembari tersenyum. Dirinya sudah lelah berterima kasih sedari tadi. Ucapan bela sungkawa dari teman-teman kampusnya sudah datang puluhan kali.

Kalau ditanya apa dia sedih, Mentari akan menjawab iya, sangat bahkan. Rumahnya yang biasanya diisi dengan suara menenangkan ayahnya, nasihat ayahnya, gurauan ayahnya, kini hanya bisa terisi oleh suara Mentari yang terus menerus mengeluh atas garis takdir yang ia dapatkan.

Tiga Belas Misi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang