"Tanda itu adalah kepingan rahasia masa lalu yang akan mengantarkan Mentari pada luka yang baru. Kali ini, benar-benar luka yang dalam."
🌛☀️
"Saya kira temen yang kamu maksud itu si Lisa atau Sinar, ternyata malah Vania."
Mentari hanya memberi cengiran khasnya sembari menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Sedikit merasa tak enak karena tidak menyebut siapa yang menginap di rumah kedua Bulan ini.
"Sorry, Kak, kemaren Kak Vania kayak keliatan linglung gitu, gue kira dia ada masalah, daripada dia nyewa hotel mending gue ajak tidur di sini, 'kan?"
Bulan tersenyum, menampilkan lengkungan yang selalu menjadi kesukaan Mentari. "Santai aja, Tari. Emang dasarnya kamu itu terlalu baik."
"Gue?"
"Iya, kamu udah pernah diganggu tanpa alasan yang masuk akal sama dia dan teman-temannya, eh, tetep aja kamu bantuin."
"Seperti yang pernah lo bilang, Kak, nyimpen dendam itu gak baik."
"Kapan saya ngomong gitu?"
Mentari terdiam, berpikir sebentar mencari kapan tepatnya ucapannya barusan keluar dari mulut Bulan. Ketika tak kunjung menemukan jawabannya, otak Mentari memilih untuk menyerah.
"Lupa, saking banyaknya hal baik yang lo ucapin."
Bulan hanya tersenyum, lalu berjalan masuk ke kamarnya. Tak sampai semenit, pemuda itu keluar lagi dengan sebuah buku di tangannya.
"Saya ke sini cuman mau ngambil ini," kata Bulan sembari mengangkat buku itu sampai sebatas dadanya.
Mentari hanya mengangguk pelan, kemudian berkata, "Mau sarapan sekalian, Kak? Kayaknya ada makanan sisa sahur tadi."
"Saya puasa, Tari, ngomong-ngomong Vania gak dibangunin?"
"Hehe, bercanda doang, Kak. Anu ... ragu gue, Kak, dia nangis sepanjang malam, seinget gue kita baru beneran bisa tidur sekitar jam satu kayaknya. Dia aja tadi gak sahur, gak tega gue banguninnya. Subuh tadi gue bangunin juga gak mau anaknya."
Bulan menatap sebentar ke arah pintu kamar yang biasa ditempati Mentari untuk tidur, beberapa detik kemudian bibirnya kembali berkata, "Dicoba dulu, takutnya dia ada jam kuliah pagi."
Mentari mengangguk kemudian melangkahkan kakinya memasuki kamar itu, meninggalkan Bulan yang kini tengah duduk di sofa sembari membuka bukunya.
Mentari menatap sebentar wajah sendu Vania, ada kantung mata tebal pada wajah gadis itu, tangisan semalam benar-benar tidak Mentari mengerti. Awalnya mereka bersenang-senang sebentar, sebelum akhirnya semuanya jadi berujung dengan racauan tak jelas dan tangisan dari Vania.
Mentari tidak mengerti apa yang salah, apa alasan dari tangisan Vania, dan kalimat jenis apa yang Vania racaukan kemarin. Tidak jelas dan abu-abu.
"Kak." Mentari menepuk pelan pipi Vania, membuat gadis yang tadinya tertidur kini tersadar sembari mengedipkan matanya beberapa kali guna mengatur jumlah cahaya yang masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Belas Misi ✔️
ChickLit"Kalau kamu benci dengan perpisahan, berarti kamu tidak punya hak untuk mengasihi pertemuan." "Kenapa gitu, Kak?" "Perpisahan ada karena eksistensi dari pertemuan. Jadi, bukankah kamu seharusnya membenci apa yang bisa membuat perpisahan itu muncul?"...