Semakin lama kamu menutupi dirimu yang sedang terluka, semakin besar dan dalam luka itu menjadi nyata--
~FelichaDi sudut kamarnya yang luas, Marcel duduk di kursinya dengan sikap yang santai. Bagian atas tubuhnya terbuka, memperlihatkan otot-ototnya yang terlatih. Tangan kirinya memegang sebatang rokok yang menyala, sementara tangan kanannya menggenggam sandaran kursi dengan longgar. Asap rokok melayang-layang di udara, menyebarkan aroma tembakau yang tajam.
Marcel memandang malas ke arah Felicha, alisnya terangkat, memberi kesan bahwa dia tidak terlalu peduli. Tatapan matanya dingin dan tak acuh. Di depannya, Felicha berdiri kaku, merasa canggung dan tidak nyaman. Matanya terhindar dari tatapan Marcel, memilih memandang ke arah lain.
"Katanya konsul, tapi dokternya malah diem bae. Gimana si?" ucap Marcel dengan nada meremehkan, suaranya menggema di ruangan yang sepi.
Felicha mengedipkan matanya cepat, mencoba menghilangkan rasa gugup yang menguasai dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan untuk menenangkan diri.
"Lah jadi ngga si?" tekan Marcel, suaranya semakin tajam.
Felicha berusaha mengumpulkan keberaniannya. "Marcel, m-mending kamu pake baju kamu dulu," ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar, masih memalingkan wajahnya agar tidak melihat tubuh telanjang dada Marcel.
"Kan gue dah bilang, gue lagi kepanasan," sangkal Marcel, nada suaranya tidak berubah.
Felicha mengarahkan pandangannya ke AC di pojok ruangan yang sejak tadi menyala, udara dingin keluar dari sana. "Tapi AC kamu nyala, Mar-"
"Kan yang kepanasan gue. Kalo emang misal keganggu yaudah si, gausah konsultasi aja sekalian," potong Marcel sambil memutar-mutar kursinya dengan santai, seolah tidak ada yang lebih penting dari kenyamanannya sendiri.
Tangan kanan Felicha mengepal dengan kuat, kuku-kukunya hampir menembus telapak tangannya. Kesabarannya sebagai seorang psikiater kembali diuji oleh Marcel. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, tetapi kemudian menghembuskannya dengan kasar. Ia melangkah mendekat ke arah Marcel dengan tatapan tajam, penuh determinasi.
Brakk!
Suara keras terdengar saat Felicha meletakkan alat tulisnya dengan tegas di meja samping Marcel. Suara itu menggema di ruangan, seolah mencerminkan kekesalannya yang tertahan.
"Yaudah, ayo mulai sekarang," ucap Felicha dengan suara dingin, penuh ketegasan.
Marcel memiringkan bibirnya, tertawa kecil melihat keberanian Felicha yang akhirnya keluar. Ada sesuatu dalam dirinya yang menghargai keberanian itu.
"Keren juga ni orang," gumam Marcel, cukup keras sehingga Felicha bisa mendengarnya.
Felicha hanya melirik tajam ke arah Marcel, tidak berniat menanggapi komentar tersebut. Matanya kemudian beralih ke rokok yang masih menyala di tangan Marcel, asapnya melayang-layang di udara.
Marcel yang mengerti arah pandangan Felicha mengangkat suaranya, "Nanggung loh, tinggal dikit lagi," ucapnya dengan nada membujuk, berharap Felicha membiarkannya menyelesaikan rokoknya.
Felicha menghembuskan napasnya secara kasar sekali lagi, mencoba menahan kekesalannya. "Oke, tapi kali ini dokter mohon kamu harus fokus," ujarnya dengan tegas. Marcel hanya mengangguk, setuju dengan syarat tersebut.
Felicha duduk di kursi di depan Marcel, menatapnya dengan serius. "Sekarang kamu mau memulai konsultasi kita dengan cara kamu bercerita, bertanya, atau menjawab soal yang nanti dokter kasih?"
Marcel menatap Felicha dengan tajam, "Gue maunya yang ditanya, bukan yang nanya."
Felicha mengangguk, menerima permintaan tersebut meskipun kekesalannya masih terasa. "Oke," jawabnya, suaranya sedikit bergetar menahan emosi. Ia membuka buku catatan dan mulai menyiapkan pertanyaan. Felicha membuka jurnalnya lalu mulai memberikan Marcel pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERSONALITY ; Taehyung & Sohyun |REVISI|
FanfictionFOLLOW DULU YUK SEBELUM MEMBACA "Ini terakhir kalinya gue peduli sama lu Marcel," ~Fenzo Ghavar Magenta. "Gue sama sekali gabutuh empati peduli dari lu!" ~Marcelino Zeen Magenta. "Sebenernya dari dua bersaudara kakak adik ini, mana sih yang butuh gu...