~Jujur bukan pilihan, tetapi kewajiban. Kebohongan bukan jalan, tetapi hanya menunda kehancuran
"Bisa ngga sih?"
.
.
.
."Bica ngga cih?" ucap bocah kecil yang memegangi pergelangan tangan ibundanya, memohon dengan suara yang nyaris terdengar sedih.
"Bisa apa sayang?" tanya Indira, sambil melihat ke arah bawah. Ia menatap penuh kasih putra kesayangannya yang sedang menginginkan sesuatu.
"Bica ngga cih, kalo cuma Malcel, bunda, cama papa aja kalo mau kelual jalan-jalan? Kenapa kak penjo celalu ikut?" ucap si kecil Marcel yang terlihat memurungkan wajah imutnya.
Melihat putranya menginginkan hal yang tidak sanggup ia penuhi, Indira menekuk kedua kakinya, menyamakan tinggi dengan putranya, lalu mendekatkan diri ke Marcel yang terlihat murung itu.
"Sayaaang, kalo Kak Fenzo nggak ikut, nanti Marcel mau main sama siapa?" jawab Indira yang membuat putra kecilnya itu berpikir.
"Iya kan? Terus juga kalo pikniknya cuma ada bunda sendiri, bunda Widya nggak ikut, siapa yang mau bantuin bunda nyiapin makanan? Kalo bunda sendiri, capek dong bunda?" ucap Indira dengan alasan yang tidak sepenuhnya berbohong, dan tentu saja ia buat agar bisa dipahami oleh putranya.
Dengan mimik wajah yang terkesan pasrah mendengarkan penjelasan dari ibundanya, Marcel mengerucutkan bibirnya. "Iya juga ya, bunda."
Indira tersenyum lembut, melihat putranya yang sedang mencoba memahami situasi. "Kalo gitu bunda, nanti kalo Malcel udah besal, Malcel aja yang bantuin bunda. Bial bunda Widya nggak ikut, jadinya kita bertiga aja deh. Cuma ada Malcel, bunda, sama papa," ucapnya ceria.
"Nanti Malcel bilang ke kak penjo, kalo Malcel udah besal, nggak pellu ditemenin main lagi, gitu bunda," ucap si kecil Marcel dengan percaya diri, membuat Indira yang mendengarnya tersenyum lebar melihat tingkah menggemaskan putranya tersebut.
Namun, siapa sangka? Jika takdir mengatakan piknik tersebut merupakan piknik terakhir bagi bocah kecil yang baru saja menjanjikan perkataannya kepada ibundanya.
~
"Marcel, bisa apa?" tanya Felicha sekali lagi dengan suara lembut namun penuh harap.
Marcel berhenti sejenak, memandang ke arah tangannya yang sejak tadi memegang pergelangan tangan Felicha. Dengan gerakan cepat, ia melepaskan genggamannya dan beranjak dari tempat duduknya.
"Bisa nggak sih kalo konsultasi hari ini udahan? Gue mau mandi. Gerah, panas banget," ucap Marcel dengan nada tergesa-gesa, masih menghindari kontak mata dengan Felicha.
"Tapi Marcel," Felicha mencoba berbicara, namun Marcel memotongnya dengan cepat.
"Atau dokter mau ikut gue mandi?" kata Marcel dengan nada nakal, kali ini menatap Felicha dengan pandangan menggoda.
"E-eh Marcel, mulutnya!" sentak Felicha, wajahnya memerah mendengar ucapan tak sopan dari Marcel.
"Naah, makanya itu. Lanjutin besok aja, gue mau mandi, gerah banget ini," ucap Marcel sambil terus bergerak di sekitarnya.
"Luka kamu?" tanya Felicha, mengarahkan pandangannya ke telapak tangan Marcel yang terluka.
"Aduuh, luka bakar doang. Gausah lebay," jawab Marcel dengan nada meremehkan, membuat Felicha terdiam sejenak. Ia merasa tersinggung mendengar Marcel mengatai dirinya lebay karena peduli. Namun, masih menahan diri dan mencoba mengakhiri sesi dengan tenang.
"Yaudah kalo gitu, besok konsultasi lagi yaa?" tanya Felicha, suaranya terdengar lelah.
"Iya iya," jawab Marcel dengan cepat, tanpa memberi perhatian lebih. Ia mulai membantu Felicha mengemasi barang bawaannya, lalu dengan tergesa-gesa mendorong tubuh Felicha agar segera meninggalkan kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERSONALITY ; Taehyung & Sohyun |REVISI|
FanficFOLLOW DULU YUK SEBELUM MEMBACA "Ini terakhir kalinya gue peduli sama lu Marcel," ~Fenzo Ghavar Magenta. "Gue sama sekali gabutuh empati peduli dari lu!" ~Marcelino Zeen Magenta. "Sebenernya dari dua bersaudara kakak adik ini, mana sih yang butuh gu...