2 2 ° / Teka-Teki

171 100 14
                                    

Di balik gelapnya langit yang telah menghitam dan hembusan angin malam yang melewati tubuh dua insan yang sedang bersama, keheningan menyelimuti mereka dalam diam. Felicha dengan tatapan kosong mengoleskan obat antiseptik ke ujung bibir Fenzo yang terluka. Pikiran Felicha berputar, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada Fenzo. Ia bertanya-tanya apakah yang paling membutuhkan dirinya sebagai psikiater adalah Fenzo.

Namun, kejadian hebat hari ini juga membuat Felicha yakin bahwa Marcel tidak berpura-pura. Rasa sakit yang Marcel luapkan saat bertengkar dengan Fenzo adalah nyata. Begitu juga dengan Fenzo, yang ternyata juga merasakan sakit di sebagian ruang hatinya.

"Kenapa semua begitu berantakan untuk disebut sebagai keluarga?" pikir Felicha, menatap kosong.

Setelah selesai mengoleskan antiseptik, Felicha menutup kembali obat tersebut. Saat ia hendak menaruhnya kembali ke dalam kotak P3K, Fenzo dengan cepat mengambil obat itu dari tangan Felicha. Felicha terkejut dan sedikit bingung melihat tindakan Fenzo.

Fenzo memajukan kursinya untuk lebih dekat dengan Felicha, lalu dengan perlahan memingkis lengan kemeja Felicha. "Pak?" ucap Felicha bingung. Fenzo membalikkan lengan Felicha, memperlihatkan goresan luka di sikunya yang sedikit mengeluarkan darah akibat terjatuh saat melerai perkelahian tadi.

"Lain kali kamu juga harus lebih memperhatikan diri kamu sendiri," ucap Fenzo, menatap Felicha dengan penuh perhatian. Felicha hanya tersenyum, merasa canggung. Fenzo mengoleskan obat antiseptik pada luka Felicha sambil berkata, "Saya tidak tahu harus mengawalinya bagaimana, tapi kamu pasti terkejut dengan kejadian hari ini. Saya juga tidak tahu bagaimana lagi, terutama bagaimana saya harus meminta maaf kepada kamu. Seharusnya dari awal, kamu memang tidak usah memasuki rumah keluarga ini."

Fenzo menatap mata Felicha dalam-dalam, penuh penyesalan. "Saya minta maaf ya?"

Selesai memberikan obat kepada Fenzo, Felicha kembali ke kamarnya. Setelah membersihkan diri, ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang mewah. "Harta melimpah bukan segalanya," pikirnya. "Apa gunanya memiliki semua itu jika kondisi batin dan perasaan mereka saling tersakiti?"

"Saya minta maaf ya?" ucapan Fenzo terngiang di benak Felicha. Pekerjaannya sebagai psikiater ternyata sangat sulit, terutama dengan Marcel yang selalu membuat ulah. Ditambah dengan kasus sopir misterius dan kejadian hari ini, semua ini di luar tugas seharusnya sebagai psikiater.

"Ah, tidak apa-apa pak. Memang tugas saya kan sebagai psikiater di rumah ini?" Felicha menutupi perasaannya. Ia bertanya, "Apa benar bapak mengenal Dr. Adrian?"

"Bagaimana kamu bisa tahu?" Fenzo terkejut.

"Dr. Adrian itu senior saya waktu masih kuliah. Tadi dia yang memberi tahu saya bahwa bapak bisa mengetahui saya sedang bersama Marcel karena Dr. Adrian menghubungi bapak sebelumnya."

"Aah begitu," jawab Fenzo.

Keduanya kembali terdiam. "Emm, kalau begitu pak, saya mau masuk duluan," kata Felicha.

"Baiklah," jawab Fenzo, tersenyum sambil mengangguk. Felicha mulai melangkah, namun Fenzo kembali berbicara. "Emm, saya boleh mengatakan sesuatu lagi?"

"Ya, kenapa pak?" tanya Felicha.

"Saya tidak ingin menahan kamu lebih lama di sini. Cukup sulit untuk psikiater pemula seperti kamu bertahan di sini. Bukannya saya meragukan kemampuan kamu, tapi saya menyadari bahwa adik saya sudah memang tidak mungkin bisa diubah. Karena itu, saya tidak ingin membuat kamu lebih lama menderita di rumah ini. Maka dari itu, mulai besok kamu bisa lepas dari kewajiban sebagai psikiater di rumah ini."

"Baik pak, kalau begitu saya masuk dulu," jawab Felicha, melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah, meninggalkan Fenzo di taman yang gelap.

Masih menatap langit-langit kamarnya yang mewah, Felicha mengatur napasnya yang terasa berat. Peristiwa tadi saat Marcel melakukan hal tak senonoh kepadanya membuatnya menyesali keputusannya menjadi psikiater di rumah ini. Namun, saat Fenzo memberi tahu bahwa ia bebas dari tanggung jawabnya, Felicha tidak merasa senang. Sebaliknya, hal itu malah menambah beban pikirannya.

Felicha masih merasa heran mengapa Fenzo tidak bertanya kepadanya tentang kebersamaannya dengan Adrian. Tidak mungkin Adrian tidak menceritakan bahwa mereka sedang berada di rumah sakit untuk memeriksa sesuatu. Apakah Fenzo juga sedang menutupi sesuatu yang ia sembunyikan darinya?

"Arghhhhh!" teriak Felicha, menarik rambutnya dengan brutal. "Bisa gila gue di sini! Gue ini psikiater, kenapa gue yang malah gila?"  Felicha menghempaskan selimut yang menutupi tubuhnya, membuat kondisi kasur yang mewah itu berantakan karena ulahnya.

Setelah itu, Felicha bangun dari tidurnya dengan rambut acak-acakan seperti singa di hutan. Ia berjalan menuju balkon kamarnya yang menghadap taman rumah keluarga Magenta. Setelah membuka gorden balkon, ia menyandarkan kepalanya, menghela napas berat. Dari balkon, Felicha melihat Fenzo yang sejak tadi masih berada di area taman, tidak beranjak sedikitpun. Pemandangan itu membuatnya semakin frustrasi.

"Kayanya gue emang ditakdirin jadi psikiater gila di rumah ini," ucap Felicha pelan, menatap ke arah tempat Fenzo berdiri.

Besok paginya di rumah Jovan, Marcel keluar dari kamarnya yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Saat ia sedang meneguk air dari gelasnya, pandangannya tertuju pada Jovan yang tampak terburu-buru menggunakan jas kantornya dan segera menuju mobilnya.

Melihat itu, Marcel dengan cepat mengikuti Jovan dari belakang. "Woy, mau kemana lu pagi-pagi gini?" tanya Marcel dengan rasa penasaran yang jelas tergambar di wajahnya.

"Ke kantor lah, kemana lagi gue kalau nggak ke kantor?" jawab Jovan sambil memasuki mobilnya.

"Ke kantor sepagi ini kayak anak sekolahan aja lu. Gausah kibulin gue ya," Marcel menambahkan, tak percaya dengan alasan Jovan.

"Lah, dibilangin malah nggak percaya. Noh kakak lu ngadain rapat pagi-pagi. Kebetulan juga gue mau mampir sebentar ada urusan," balas Jovan yang sudah duduk di kursi pengemudi.

"Urusan apaan?" tanya Marcel, rasa ingin tahunya makin memuncak.

"Kepo amat dah," jawab Jovan sambil menyalakan mesin mobilnya. "Oke gue cabut dulu. Btw lu nggak usah bikin masalah lagi, Cel. Bisa gila gue ngehadapinnya," ucap Jovan sambil memajukan mobilnya keluar dari pagar rumah.

Melihat Jovan yang telah meninggalkan rumah, Marcel segera mengeluarkan handphonenya dari saku celana tidurnya. Kali ini, ia berniat menghubungi seseorang yang ada di kantor untuk memastikan kebenaran ucapan Jovan.

"Halo Bob?"

"Iya, Tuan. Ada masalah apa?" jawab Boby dari seberang telepon.

"Mau nanya, sekarang Fenzo ada jadwal meeting pagi?"

"Sebentar, Tuan. Saya lihat dulu schedule hari ini," jawab Boby sambil memeriksa jadwal.

Marcel menunggu sambil meneguk air di gelasnya yang ia bawa. Pikirannya berkecamuk, memikirkan urusan apa yang membuat Jovan terburu-buru pergi sepagi ini."Ada, Tuan, tapi nggak pagi-pagi banget sih. Kayak jadwal meeting biasanya jam 10.00," jawab Boby setelah beberapa saat.

"Oo yaudah kalau gitu, thanks ya," ucap Marcel mengakhiri telepon tersebut.

Marcel kembali meminum airnya sambil menggoyang-goyangkan gelasnya layaknya wine yang sedang ia nikmati. Matanya menatap kosong ke halaman rumah Jovan, pikirannya terus memikirkan alasan di balik kepergian Jovan sepagi ini. Apakah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang Jovan sembunyikan darinya? Apa urusan mendesak yang membuatnya harus berangkat sepagi itu?

Rasa curiga dan ingin tahu Marcel semakin membesar. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, namun ia belum bisa memastikannya. Pertanyaan-pertanyaan terus berputar di kepalanya, menambah beban pikirannya di pagi yang seharusnya tenang ini.

PERSONALITY ; Taehyung & Sohyun |REVISI|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang