Dengan pakaian kantornya, Jovan berjalan dengan langkah terburu-buru menyusuri koridor rumah sakit. Matanya menatap lurus ke depan, penuh dengan tekad dan sedikit kegelisahan. Dia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponsel, segera menghubungi seseorang.
"Lu udah dimana?" tanyanya dengan nada mendesak.
"Cepetan, kita gak ada waktu lagi," ucap Jovan lalu mengakhiri panggilan tersebut. Ia mempercepat langkahnya, melewati pasien dan staf rumah sakit tanpa banyak memperhatikan sekitar. Tujuannya jelas yakni ruang jenazah.
Sesampainya di depan ruang jenazah, Jovan tidak membuang waktu. Ia langsung masuk, matanya mencari-cari satu jenazah tertentu. Jovan juga membuka tirai gorden yang membatasi antara jenazah-jenazah lainnya. Di depannya, jenazah sopir misterius itu terbaring, masih utuh dan belum ada tindakan apapun yang dilakukan.
Srek, srek.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Jovan segera membuka mulutnya, "Ayo cepetan, kita gak ada waktu lagi." Namun, saat suara langkah kaki itu semakin dekat dan menampilkan pemiliknya, kedua mata Jovan membulat karena ternyata yang masuk adalah seorang dokter yang memang sedang menjadi jadwalnya untuk mengawasi ruangan jenazah tersebut.
"Anda siapa ya?" tanya dokter itu dengan nada curiga.
"S-saaya yang memiliki kasus dengan korban ini," ucap Jovan gugup karena terkejut.
"Kalau anda sendiri?" tanyanya kembali, tidak kalah curiga.
"Saya sedang bergantian untuk menjaga tempat ini,"
"Bukannya Dr. Sutomo yang bertugas hari ini?" tanya Jovan bingung.
"Iya, beliau digantikan dengan saya,"
Jovan memperhatikan sebuah nametag yang terpasang di jas dokter tersebut. Dr. Adrian Pratama, Spesialis Forensik dan Medikolegal (Sp.FM). Ingatannya segera terlempar pada percakapannya dengan Marcel kemarin..
.
."Lu itu kenapa sih? Tengkar sampe segitunya sama Fenzo?" tanya Jovan sambil menyetir.
"Dia duluan yang mukul gue, ya mana gue bisa diem aja," ucap Marcel tidak terima.
"Lu ngapain emang sampe dipukul gitu, hah?" Marcel terdiam, memalingkan wajahnya dan melihat ke arah jalanan. Ia memikirkan sebab utama Fenzo hingga memukulnya ialah setelah melihatnya mencium Felicha secara paksa.
"Lu ini emang ya," cetus Jovan.
"Btw, untung lu ngecegah Felicha tadi. Kalo ngga, bisa ketauan gue," ucap Jovan mengingat kembali kejadian itu.
Marcel menatap sinis ke arah Jovan. "Salah siapa lu ngebunuh tu sopir?! Kan gue ribet juga jadinya."
"Lah yang bunuh siapa? Orang gue gak ada ngapa-ngapain kok. Gue cuma kasih dia minuman yang ada obat tidurnya. Selebihnya itu gue ga tau. Gue juga sebelumnya udah bilang 'kalo ngantuk tidur ya pak,' dianya aja yang ngotot. Jadi salah siapa?" jawab Jovan defensif.
"Serah lu," ucap Marcel sambil memalingkan wajah.
"Oh iya, dokter temennya Felicha gimana? Aman kan?"
"Gak tau. Gue tadi cuma langsung ngajak dokter gue cabut. Gak ngurus gue," ucap Marcel tak acuh.
"Ya keknya sih bakal aman ya, soalnya kan yang punya keterkaitan sama tu jasad Felichanya kan? Kalo Felicha gak ada, mana bisa dia masuk sembarangan," ujar Jovan menebak.
"Lu tau namanya gak?" tanya Jovan kembali.
"Ngapain juga gue harus tau?" ketus Marcel.
"Ciri-cirinya kek apalah gitu," desak Jovan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERSONALITY ; Taehyung & Sohyun |REVISI|
Hayran KurguFOLLOW DULU YUK SEBELUM MEMBACA "Ini terakhir kalinya gue peduli sama lu Marcel," ~Fenzo Ghavar Magenta. "Gue sama sekali gabutuh empati peduli dari lu!" ~Marcelino Zeen Magenta. "Sebenernya dari dua bersaudara kakak adik ini, mana sih yang butuh gu...