Sang mentari sudah terbit untuk menjalankan tugasnya menyinari bumi.
Para pekerja dan pelajar sudah berangkat sejak satu jam lalu. Tapi beda dengan dua insan yang masih menutup matanya.
Tak lama dari itu pemuda yang tertidur di bangsal rumah sakit mengerjap 'kan matanya beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang menyinari wajahnya.
Setelah mata itu terbuka sempurna, matanya terus berkeliaran melihat ke semua penjuru ruangan ini, hingga dia tidak sengaja melihat salah seorang yang sedang tidur di sofa. Dari jas yang dia gunakan orang itu Evan yakin jika dia adalah salah satu Dokter di rumah sakit ini.
Karena tidak ingin berlama-lama di ruangan, Evan berniat untuk kabur dari rumah sakit ini, lagian Evan juga tidak punya uang sepeserpun untuk membayar administrasi rumah sakitnya.
Dengan pergerakan yang sangat pelan dan tidak mengeluarkan suara Evan berhasil mencabut infus yang menancap di tangan kanannya dengan paksa, lalu dia turun dari bangsal dengan hati-hati supaya tidak menimbulkan suara.
"Mau kemana kamu?"
Seketika tubuh Evan menegang saat mendengar suara asing yang Evan yakin pertanyaan itu untuknya.
"Pulang."
Orang itu bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Evan "emang siapa yang menyuruhmu pulang?."
"Kembali ke kasurmu, saya mau periksa kamu dulu," ucap Dokter itu.
"Gak usah, gak pelu, gue udah sehat, gue mau pulang," elak Evan saat dokter itu akan memeriksanya.
"Kamu emang sehat tapi perut kami gak sehat, kamu harus dirawat dulu di sini selama beberapa hari."
"GAK!!" Evan berteriak tepat di depan wajah dokter itu.
"Saya gak minta persetujuan mu," ucap Dokter itu dengan wajah datarnya.
Dokter itu langsung mengambil tangan Evan yang berdarah karena jarum infusnya yang di lepas paksa, namun Evan segera menepisnya, dia menyembunyikan kedua lengannya di belakang tubuhnya.
"Sini," dokter itu mengambil tangan Evan, namun lagi-lagi Evan menghempaskan tangannya dan terjadilah tarik menarik tangan Evan.
"Cepatlah saya masih harus bekerja setelah memeriksa mu."
"YA UDAH SANA NGAPAIN LO MASIH DI SINI!!" Teriak Evan.
"Ya saya mau meriksa kamu dulu abis itu saya memeriksa yang lain."
"Kenapa sih lo maksa banget hah!? Kalo gue mau pulang ya pulang, ngelti bahasa manusia gak sih lo!," Ucap Evan dengan penuh penekanan.
"Cepat berbaring," titah Dokter itu kepada Evan. Untung saja Dokter muda yang bernama Alden itu mempunyai kesabaran yang tinggi.
"Anjing! Gue gak mau babi!."
Tak
Satu sentilan Alden berhasil mendarat di bibir Evan.
"Bangsat sakit! Lo punya masalah apa sih sama gue hah?! Kalo lo dendam sama gue ngomong!" Ucap Evan yang sudah terlanjur emosi.
"Saya gak punya dendam sama kamu, saya cuma mau menolong kamu, karena saya udah nginjek tangan kamu sampai tangan kamu terkena pecahan beling itu," ucap Alden mencoba menjelaskan apa yang sudah terjadi supaya Evan mengerti namun bukannya mengerti Evan malah semakin marah-marah.
"Ouh jadi lo yang nginjek tangan gue?! Gak punya hati lo anjing!" Evan memutarkan matanya malas, di tambah matanya yang sudah berkaca-kaca takut nanti air matanya jatuh bisa malu dia kalo seorang Evan menangis.
"Kalo saya gak punya hati ngapain saya bawa kamu ke rumah sakit? Kalo emang iya saya gak punya hati mungkin kamu udah saya bawa ke kuburan, saya kubur kamu hidup-hidup."
"Bacot anjing!," Ucap Evan.
"Sudah lah bisa habis kesabaran saya ngomong sama kamu. Sekarang kamu tulis nomor orang tua kamu di hp saya biar saya yang nyuruh orang tua kamu jemput kamu," Alden menyodorkan hpnya ke arah Evan, namun Evan hanya menatap hp Alden dan menatap tajam ke arah Alden.
"Gak sekalian lo minta nomor hp nya malaikat?."
Alden hanya terkekeh mendengar ucapan Evan, perasaanya campuraduk kesal karena Evan yang terus mengumpat dan berteriak dan gemas karena wajah Evan yang sudah memerah di tambah kedua matanya yang sudah berkaca-kaca.
"Saya cuma mau nomor hp or---"
"ORANG TUA GUE UDAH MENINGGAL BANGSAT!! KALO LO MAU NGOMONG SAMA MELEKA SANA KE ALAM KUBUL!!," Evan berdiri dan langsung mendorong pundak Alden, alhasil Alden yang belum siap dengan dorongan Evan terjungkal ke belakang.
Alden sekarang merasa bersalah karena sudah memaksa Evan untuk meminta nomor hp orangtuanya, pasti Evan sekarang merasa bersedih karena Alden mengingatkannya lagi pada almarhumah orang tuanya.
"Ma...maaf saya, saya---"
"APA LO MAU APA HAH?! MAU MINTA MAAF? BASI!!, KESALAHAN LO UDAH FATAL MENULUT GUE, LO UDAH NGINGETIN GUE SAMA MEREKA YANG UDAH MATI-MATIAN GUE LUPAIN, LO UDAH NYELAKAIN GUE, DAN SEKARANG LO NAHAN GUE DI SINI, LO TAU GAK!? BUAT MAKAN AJA GUE SUSAH APALAGI BAYAL BIYAYA LUMAH SAKIT BANGSAT!!," sungguh sekarang Evan sudah tidak bisa lagi menahan emosinya, entah kenapa emosinya membeludak seperti ini di hadapan orang asing.
"Jadi karena masalah ekonomi sehingga dia bisa mempunyai maag kronis,"
"Sekali lagi saya minta maaf, kamu tenang saja saya akan bertanggung jawab penuh soal biyaya rumah sakit kamu."
Evan hanya diam, dia memalingkan wajahnya yang sudah basah karena air mata yang berusaha dia tahan keluar juga.
Alden yang melihat Evan menangis pun langsung memeluk Evan, menyenderkan kepala Evan di dada bidangnya, ada rasa nyaman dan hangat saat Evan ada di pelukannya.
Begitupun Evan, awalnya dia kaget karena Alden memeluknya, namun karena rasa nyaman yang Evan rasakan jadi dia hanya diam saja tidak memberontak sama sekali malahan dia memeluk balik Alden dan menangis dalam pelukan Alden.
"Sekali lagi saya minta maaf."
"Mengingat masa lalu memang sangat menyakitkan."
_________________***__________________
Huaaa jadi gemes sendiri sama tingkah lucu si Athan ya, malu-malu tapi mau dia, ututut.
Seru gak sih ceritanya, duh deg-degan nih soalnya baru nge publis cerita yang kaya gini.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANGERAN CADEL [END]✓
Teen FictionDia milik ku. Dia milik kita. Dia milik kami. Dia untuk kita semua. Si nakal yang tidak tau apa yang namanya aturan, suka membantah, sering ngomong kasar tapi gak bisa nyebut R dan melakukan sesuatu dengan sesuka hatinya. Suka kabur dari rumah, bolo...