Kepada Siapa Cinta Berlabuh

479 44 2
                                    

Sepasang tasbih dan kalung salib bergelantungan di antara dua tangan di depan jendela, dengan cahaya matahari yang menghasilkan bayang-bayang cukup indah.


"Tembok kita terlalu besar." Ucap seorang gadis berbalut jilbab itu.

"Perasaan kita juga bertolak belakang." Lanjutnya.

Perempuan itu pun menenggelamkan wajah ke dalam tumpukan tangannya, lalu tertidur. Tak lama kemudian, ia terbangun dan langsung berjalan menuju sebuah cermin besar.

Kini, seorang perempuan berjilbab putih itu pun telah berdiri di depan cermin yang cukup besar. Ia meraba kerudung yang terbalut di kepalanya sembari berpikir keras. Ia kembali mengingat tentang perkataan seseorang di waktu malam.

"Jangan karena cinta seseorang, lo mau ngorbanin agama lo sendiri, Rai."

Gadis di depan cermin itu menelan keras salivanya.

"Semoga hari itu tiba, Rai."

Gadis di depan cermin itu kembali menelan keras salivanya. Ia memejamkan matanya seraya berkata, "Asyhadu ...."

"Agama bukan untuk dipermainkan, Raisa."

Gadis di depan cermin itu kembali membuka matanya terkejut bukan main. Suara siapakah itu? Apakah itu suara hatinya? Jika iya, tujuannya berpindah agama belumlah sempurna. Ia kurang yakin dengan pilihannya.

"Lo yakin mau pindah agama?"

"Lo nggak akan pernah bisa bersatu dengan dia."

"Lo yakin dengan pilihan lo?"

"Tembok kalian tidak bisa dihancurkan begitu saja."

"Lo cinta sama dia, Rai."

Suara-suara itu terus terdengar di telinga Raisa silih berganti. Ia pun menutup telinganya dengan penuh penekanan dan frustasi.

"AAAARRRGGGHHH! STOP! GUE CAPEEEEKKKK!" Kelakarnya dengan tubuh terombang-ambing.

Di sisi lain, ia terbangun dan terengah-engah dengan napasnya. Rupanya, itu hanyalah mimpi. Ia pun melihat jam dinding di kamarnya yang telah menunjukkan waktu sore.

"Kenapa harus bermimpi seperti ini?" Lirihnya bertanya.

•••

"Ke London kapan?" Tanya Syawal yang membuat Alesha berhenti memberikan suapan bubur kepadanya.

Alesha memutar malas bola matanya dan menghembuskan nafas besar-besar. "Bang, udah sembuh?" Tanyanya lembut.

Syawal terdiam dan mengalihkan pandangannya dari Alesha.

"Alesha belum bisa sepenuhnya maafin papa, bang."

Syawal kembali menoleh ke ara Alesha sambil mengulum senyum. "Kamu pasti bisa."

Alesha menatap sedu bola mata Syawal, lalu berkata "kenapa bang Aal se-yakin itu?" Tanyanya.

"Kenapa nggak?"

Alesha menghembuskan nafasnya, lalu mengangguk pelan.

"Suapin lagi dong, masih laper ini!" Rengek Syawal yang memecahkan keheningan sekejap itu.

"Oh iya, lupa. Maaf." Pungkas Alesha seraya memberikan sesuap bubur pada Syawal.

Tak lama kemudian, Abban datang bersama Alim dan Hilya yang memang berniat untuk menjenguk keadaan Syawal.

SENJA UNTUK ALESHA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang