BAB 19 | Nikah?

33 3 0
                                    

Satu tahun lagi-lagi berlalu dengan cepat. Tahun ini, Yudha sudah berusia 27 tahun. Laki-laki dewasa itu sudah tidak disibukkan lagi dengan tersenyum melayani costumer, melainkan sibuk keliling satu kabupaten dengan motornya. Tentu saja tujuannya untuk menawarkan pinjaman kepada costumer yang sekiranya bisa meminjam ke Bank dalam jumlah yang banyak sehingga targetnya tahun ini bisa dicapai.

Sejak pindah ke bank cabang beberapa bulan yang lalu, Yudha naik pangkat menjadi AO alias Account Officer. Di posisi ini, Yudha bertugas menilai nasabah yang sesuai dengan kriteria bank dan mengusulkan jumlah kredit yang diberikan. Pada intinya, Yudha harus mengumpulkan pinjaman dari nasabah sejumlah 1M. Jadilah setiap hari, bahkan ketika matahari belum terbit, atau ketika malam sudah menyapa, Yudha sibuk memacu laju motornya. Berkunjung ke rumah-rumah nasabah yang rata-rata memiliki usaha atau bisnis. Membujuk dengan bahasa yang baik dan sopan ditambah senyum manis meskipun lelah sedang menggerogoti badan.

Hari itu, pertama kalinya sejak dua minggu terakhir, Yudha akhirnya punya kesempatan pulang lebih cepat . Bukan karena kerjaannya lancar seperti minggu-minggu sebelumnya, melainkan sebaliknya. Pekan ini, Yudha cukup kewalahan. Nasabah yang ia tawari tidak luluh sama sekali. Bahkan ia belum berhasil membujuk satu nasabahpun pekan ini. Padahal, pekan lalu ia bisa memberi kredit dengan total 50 juta dalam waktu satu minggu saja.

Sebelum pulang, Yudha mampir sebentar ke dapur kecil yang ada di kantor. Ia ingin minum untuk menyegarkan tenggorokannya yang terasa kering kerontang.

Persis ketika Yudha menghabiskan satu gelas air, sebuah suara menyapanya,

"Tumben udah di kantor, Yudh."

Itu Satria, salah seorang pegawai senior. Posisinya di kantor hampir sama dengan Yudha meski jabatan mereka berbeda.

"Iya, Pak. Saya mau langsung pulang. Udah izin sama atasan."

"Panggil Mas aja. Ga usah formal-formal banget lah. Kita lagi ngobrol santai gini, kok."

Yudha tersenyum kecil, mengangguk.

Satria menilai Yudha sekilas sembari mengisi cangkir yang berisi serbuk kopi dengan air panas. Kantong mata yang tampak jelas. Rambut sedikit berantakan. Pakaian kusut. Apalagi wajahnya, kucel sekali.

"Kamu capek banget, ya, Yudh? Kelihatan ga beres gitu penampilan kamu."

Mungkin orang lain akan merasa tersindir atau tersinggung dengan kalimat Satria barusan. Tapi Yudha sama sekali tidak. Mau bagaimana, memang kenyataannya begitu. Malah aneh kalau Satria bilang ia masih tampan dan rapi.

"Iya nih, Mas. Ga tau kenapa, minggu ini saya kayaknya lagi apes Mas. Biasanya lumayan gampang bujuk nasabah, ngasih kredit ke mereka. Sekarang malah ga dapat sama sekali, Mas."

"Oalah, itu toh masalahnya. Ya gapapa lah, Yudh. Namanya juga hidup. Ada naik turun. Mungkin kamu disuruh istirahat, tuh. Udah ga keurus gini kelihatannya."

Yudha nyengir. Dalam hati jadi sedikit penasaran, seberapa tak terurus penampilannya saat ini.

Setelahnya, Satria santai duduk untuk menikmati kopinya yang masih mengepulkan asap. Sepertinya, pria itu akan kerja lembur malam ini.

"Nikah, Yudh. Cari istri. Biar ada yang ngurus kamu" celoteh Satria tiba-tiba.

Yudha sempat tertegun sesaat sebelum akhirnya tertawa.

"Mas Satria ini ada-ada aja. Saya belum jadi pegawai tetap ini Mas. Kerja juga ga lancar gini. Mana sempat saya mikirin masalah nikah, Mas"

"Ya harus dipikirin lah, Yudh. Keburu jadi perjaka tua kamu."

Sembari menggelengkan kepalanya dan sedikit tersenyum, Yudha akhirnya pamit pada Satria.

"Saya pulang dulu deh, Mas. Saya mau istirahat. Denger omongan Mas malah bikin saya makin stress."

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang