Pintu ICU terbuka. Yudha melangkah keluar dengan kaki lemas. Hampir saja ia terjatuh kalau Nia tidak sigap menahan tubuhnya.
Persis ketika Yudha menatap mata tua itu, tangis Yudha tidak mampu terbendung lagi. Ia membiarkan air matanya keluar semaunya.
Nia jelas ikut hancur melihat kondisi Yudha. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali memeluk Yudha dan mengusap punggungnya, mencoba memberikan ketenangan.
Berulang kali Yudha mengucapkan kata maaf. Memorinya soal betapa kejamnya ia pada Nia dulu terputar begitu saja di kepalanya. Jika dulu ia merasa bahwa Nia adalah wanita jahat yang membuat papanya berpaling dari ibu kandungnya, kini anggapan itu terbalik 180 derajat. Nia sungguh tidak salah apa-apa. Toh, kenyataannya papanya tidak pernah mencintai ibu kandungnya. Bahkan, dirinya harus berterima kasih karena Nia masih mau membesarkan dirinya, seorang anak haram, anak yang sama sekali tidak diinginkan.
Cukup lama Yudha menangis di pelukan Nia. Keduanya bahkan tidak berubah posisi sama sekali. Beruntung tidak ada tenaga medis yang berlalu-lalang sehingga tidak ada yang akan penasaran tentang apa yang terjadi pada keduanya.
Setelah Yudha cukup tenang, pelukan keduanya terlepas. Nia menuntun Yudha ke salah satu kursi yang tak jauh dari sana.
"Mama sama papa minta maaf, Yudh. Jangan benci papa, ya."
Tidak ada jawaban dari Yudha. Ia hanya tersenyum getir. Entahlah, ia tidak tau harus membenci siapa dalam situasi ini. Apakah ia harus membenci dirinya sendiri karena sudah hadir di dunia yang rasanya tidak pernah berpihak padanya?
Tiba-tiba, Yudha berdiri.
"Kamu mau kemana?" tanya Nia khawatir.
"Yudha mau pergi sebentar, ma."
"Tapi..."
"Yudha ga bakal melakukan hal bodoh. Ma. Percaya sama Yudha. Yudha cuma mau nenangin pikiran. Yudha janji bakal balik waktu papa operasi."
Nia terdiam. Ia tidak bisa menjawab apapun. Akhirnya, ia hanya bisa mengangguk. Mematung di tempat menatap Yudha yang sudah melangkah menjauh.
-----
Mobil yang dikendarai Yudha melaju kencang di jalan raya. Ia berkendara tanpa tujuan. Melintas di bawah langit yang semakin gelap, bukan hanya karena malam yang telah larut, melainkan karena awan tebal yang mulai berkumpul, membuat mendung mengungkung.
Lima belas menit terus melaju tanpa arah, kecepatan mobil yang dikendarai Yudha akhirnya mulai berkurang. Di benak kepala laki-laki yang tengah hancur perasaannya itu, muncul sebuah tempat yang hendak ia kunjungi, makam ibu kandungnya.
Ibu kandung Yudha dimakamkan di kota ini, kita dimana ia bertumbuh. Meskipun sudah lama tidak berkunjung, Yudha masih ingat arah menuju makam itu. Jalan sempit yang dulu sering ia lalui diam-diam. Ya, ketika Yudha rindu ibunya, ia pergi sendirian ke makam ini. Ari tidak pernah mau menemaninya. Dulu, ia selalu bertanya kenapa, tetapi kini Yudha sudah tahu betul alasannya.
Sembari menyusuri jalan sempit itu, penjelasan Ari kembali terngiang,
"Papa benar-benar minta maaf. Saat itu, papa dijebak. Papa tidak sadar sama sekali sehingga jatuh dalam zina. Setelah tau ibu kamu hamil, kami akhirnya menikah. Meskipun banyak hal yang papa sesali, papa benar-benar bahagia ketika kamu lahir."Entahlah, apa Yudha harus percaya kalimat itu atau tidak. Tapi setidaknya Ari tetap membesarkannya dengan baik, terlepas dari kejadian itu.
"Setelah itu, papa mencoba menerima takdir. Sayangnya, ketika umur Farhan satu tahun, kalau kamu ingat, ibu kandung kamu sakit. Dia menderita kanker. Papa juga tidak tahu entah sejak kapan penyakit itu ada di tubuhnya. Yang jelas, kondisinya semakin memburuk. Dia akhirnya tidak bisa bertahan dan meninggalkan kita bertiga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang [LENGKAP]
RomansaTentang keluarga dan pasangan. Tentang alur nyata kehidupan. Tentang berdamai dengan semua takdir menyakitkan. Tentang menerima, mencintai, dan saling menguatkan. Cerita tentang titik terang dalam hidup yang gelap dan diselimuti kebohongan.