BAB 38 | Awal Hubungan (2)

17 0 0
                                    

Enam bulan berlalu dengan cepat

Ari menghabiskan sebagian besar waktunya di penjara. Benar, Ari memang diberi pekerjaan sebagai sipir penjara. Tidak masalah. Meski terkadang ada satu dua tahanan yang membuat masalah, setidaknya Ari lebih sering duduk diam sambil bersantai untuk kemudian menerima gaji di awal bulan.

Gaji yang dijanjikan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan Ari. Mungkin jumlahnya tidak terlalu besar menurut kebanyakan orang, tapi bagi Ari yang biasanya harus banting tulang seharian demi mendapat sesuap nasi, jumlah yang diterimanya sekarang sangat ia syukuri. Ia bisa menggunakan sebagiannya untuk bertahan hidup dan sebagian lagi untuk dikirim pulang bersama sehelai surat untuk kedua orang tuanya.

Hari ini adalah akhir pekan. Bosan terus berada di kos, Ari memilih menghabiskan waktu di lapangan badminton. Sama seperti rutinitasnya di kampung dulu. Bedanya, jarak antara kos dan lapangan badmintonnya tidak terlalu jauh dan Ari juga sudah memiliki alat olahraganya sendiri, meskipun sebenarnya raket dan kok itu adalah pemberian dari salah satu rekan sipir yang mengetahui hobi badmintonnya.

Yah, meskipun akhir pekan, Ari memang tidak pulang ke kampung. Sejak bekerja, Ari sangat jarang pulang ke sana. Selama ini, baru sekali Ari pulang untuk melihat kondisi kedua orang tuanya. Semua itu ia lakukan untuk menghemat pengeluaran.

Sayangnya, permainan hari ini juga tidak begitu menyenangkan. Rekan-rekan sesama sipirnya tidak ada yang datang, pun orang lain yang biasanya menggunakan lapangan ini. Sudah tiga puluh menit menghabiskan waktu di sana, belum ada orang lain selain Ari. Sepertinya, cuaca yang tidak terlalu bersahabat membuat orang lain malas keluar rumah.

Setelah satu jam berolahraga sendirian dan banjir keringat, Ari akhirnya memutuskan pulang. Ia melangkah pelan di trotoar, memerhatikan jalan raya yang juga terlihat sepi. Padahal, biasanya di akhir pekan seperti ini jalanan akan cukup ramai lantaran pasar tradisional di ujung jalan ini buka di akhir pekan.

Beberapa menit kemudian, Ari akhirnya sampai di kos. Ia membuka pintu depan. Langkah Ari menuju ke kamarnya yang ada di bagian paling belakang terhenti saat telinganya menangkap deheman seseorang.

"Pagi, Mas. Sudah selesai olahraga, ya?"

Ari menoleh, menemukan Inna yang pagi ini terlihat cantik dengan terusan yang membungkus tubuhnya. Rambutnya yang berwarna hitam legam terlihat bergelombang. Ia sedang memegang gelas kosong, sepertinya baru selesai minum.

"Oh, Pagi Inna. Iya, saya baru dari lapangan."

"Mau Inna buatkan minuman segar, mas?"

Ari terdiam sebentar, menimbang-nimbang sampai akhirnya ia mengangguk.

"Boleh, tapi saya mandi dulu ya."

"Iya, Mas. Inna tunggu di teras, ya."

Setelahnya, Ari berlalu ke dalam kamar. Mengambil perlengkapan mandinya dan kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Laki-laki muda itu sudah tidak sabar untuk membersihkan tubuhnya yang penuh keringat, lebih tepatnya tidak sabar menemui Inna yang sudah menunggunya di teras.

Enam bulan di kota ini, Ari tidak memiliki banyak teman. Bahkan antar penghuni kos pun tidak semuanya saling mengenal. Mereka punya rutinitas masing-masing. Kadang hanya sempat menyapa apabila tidak sengaja berpapasan. Di antara semua penghuni kos, Inna adalah satu-satunya yang sering Ari ajak bicara.

Inna adalah anak dari pemilik kos ini. Keluarganya yang lain tinggal di rumah sebelah. Hanya Inna yang tinggal di kos dan menjadi pengelola kos secara langsung. Usianya hanya terpaut dua tahun di bawah Ari. Kepribadiannya yang ramah membuat banyak orang lain nyaman bergaul dengannya dan Ari adalah salah satunya. Hubungan keduanya bahkan berkembang pesat sejak pertemuan pertama dan kini entah apa sebutan yang pantas untuk itu.

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang