BAB 35 | Menyembunyikan

24 2 0
                                    

"Hidup ga selalu sesuai dengan yang kita inginkan. Pasti ada hikmah dari kejadian ini. Ingat bahwa Allah ga akan meninggalkan hamba-Nya dalam keadaan sulit. Ikhtiar dan sabar Insya Allah akan mengarahkan kamu kepada jalan keluar."

---

Pagi menjelang saat Yudha akhirnya memutuskan bangkit dari tempat tidur yang sama sekali tidak berhasil membuatnya terlelap. Wajah dan matanya terasa bengkak lantaran menangis nyaris semalaman. Pikirannya masih kacau, tetapi tidak lagi sekacau kemarin saat berita buruk itu menimpanya.

Yudha ingin melangkah menuju kamar mandi saat ponselnya berdering. Nama istrinya tertulis di layar. Laki-laki itu menghela napas panjang. Ia merasa enggan untuk mengangkat panggilan itu, tetapi ia juga sadar bahwa sejak semalam, dirinya sama sekali belum memberi kabar. Pastilah Alifa khawatir.

Setelah menyentuh layar untuk mengangkat panggilan, Yudha menempelkan ponselnya ke telinga. Ia menunggu istrinya bicara lebih dulu.

"Assalamu'alaikum, Mas. Kamu udah bangun?"

Yudha tidak bicara sama sekali. Ia hanya menjawab pertanyaan itu dengan gumaman yang tidak jelas.

"Hm...Mas gapapa? Mas mau cerita?" tanya Alifa seolah berhati-hati dengan kata-katanya.

Yudha akhirnya menghela napas panjang.

"Mas gapapa, Sayang. Maaf semalam Mas udah tidur, ga sempat ngabarin kamu." balas Yudha dengan suara seraknya.

"Iya, Mas, gapapa. Hm...hari ini Mas pulang?" 

Suara Alifa terdengar ragu untuk bertanya. Ia takut pertanyaannya terkesan memaksa suaminya yang pasti tengah lelah untuk pulang.

Cukup lama Yudha terdiam sampai akhirnya ia menjawab, "Iya, Sayang. Insyaa Allah habis shubuh Mas berangkat, ya."

Persis ketika Yudha mengucapkan kalimat itu, ia telah memutuskan untuk menyembunyikan semua kejadian dari Alifa. Ia tak ingin istrinya yang tengah hamil terbebani karena masalah ini. Biar Yudha sendiri yang mencari jalan keluar dari masalahnya.

Setelahnya suara Alifa terdengar lebih riang. Selepas satu-dua kalimat, percakapan keduanya berakhir. Yudha melempar ponselnya ke atas kasur kemudian melangkah pelan menuju kamar mandi. Ia ingin berwudhu' dan melaksanakan shalat tahajjud.

Kali ini, lama sekali Yudha tersungkur dalam sujudnya. Sekali lagi, laki-laki itu menangis. Ia menumpahkan keresahannya pada Yang Maha Kuasa. Meminta jalan keluar yang paling baik yang bisa ia lakukan untuk menyelesaikan masalah ini.

Ketika Yudha selesai menunaikan shalat, pintu kamarnya terbuka dari luar. Ia bisa melihat mamanya tengah mengintip, ragu-ragu untuk masuk.

"Masuk aja, Ma."

Nia akhirnya masuk. Wanita itu mengenakan mukenah, juga baru selesai melaksanakan shalat tahajjud.

Keduanya duduk di pinggiran tempat tidur. Sempat diam satu sama lain sampai akhirnya Nia bersuara,

"Kamu udah ngerasa baikan?"

"Sedikit, Ma. Tapi rasanya masih berat."

Nia mengangguk atas kalimat itu. Ia tahu tidak semudah itu menerima sesuatu yang tidak menyenangkan.

"Tadi mama sempat dengar suara dari kamar kamu. Alifa nelfon, ya?"

Yudha mengangguk sebagai jawaban lantas melanjutkan, "Hari ini Yudha pulang. Mungkin abis shubuh."

"Alifa tahu kamu berhenti kerja?" tanya Nia hati-hati. Ia tidak mau menyinggung perasaan putranya.

Lama Yudha terdiam hingga akhirnya ia menggeleng. 

Hening sebentar di antara keduanya. Nia kemudian bangkit seraya bicara, "Mama cuma mau lihat kondisi kamu aja. Syukurlah kalau kamu udah tenang. Gapapa, ya, Nak. Hidup ga selalu sesuai dengan yang kita inginkan. Pasti ada hikmah dari kejadian ini. Ingat bahwa Allah ga akan meninggalkan hamba-Nya dalam keadaan sulit. Ikhtiar dan sabar Insya Allah akan mengarahkan kamu kepada jalan keluar."

Setelah menyelesaikan kalimatnya yang dibalas dengan senyuman tipis dari Yudha, wanita itu keluar. Ia berpapasan dengan Ari yang kini tengah melangkah menuju kamar anaknya. Nia tahu apa yang akan diucapkan suaminya itu. Mereka telah membicarakannya semalam. Solusi yang mungkin menjanjikan, tetapi membawa lagi fakta lama itu. Fakta bahwa Nia bukan wanita pertama yang berhak atas suaminya. Ada satu wanita sebelum itu, yang tak lain adalah ibu kandung dari Yudha dan Zufa.

"Coba kamu hubungi Om Era, dia udah jadi kepala di kantornya sekarang. Mana tau ada pekerjaan buat kamu. Jadi apa pun ga masalah." ucap Ari dari daun pintu yang masih terdengar samar oleh Nia dari posisinya sekarang.

-----

Kebisingan di dalam angkutan umum mengiringi perjalanan Yudha selama empat jam menuju kota dimana istrinya berada. Dengan pikirannya yang sedang kalut, Yudha menolak untuk mengendarai kendaraan selama itu. Apalagi medan jalan ke kota Alifa tidak mudah. Alhasil, ia lebih memilih menaiki angkutan umum. Lagi pula, dirinya bisa beristirahat sebentar walaupun dengan kondisi yang tidak nyaman sama sekali. 

Setelah perjalanan empat jam yang sukses membuat perut Yudha melilit karena mabuk darat, Yudha akhirnya tiba di rumah. Kali ini Alifa yang menyambutnya dengan senyuman. Sayang, suasana hati Yudha masih belum cukup baik untuk bisa membalas senyuman itu dengan menyenangkan seperti biasanya.

Sesampainya di kamar, Yudha memilih untuk membersihkan dirinya di kamar mandi. Berjam-jam di dalam angkutan umum, bercampur dengan banyak orang ditambah lagi dengan suasana yang cukup panas membuat tubuhnya lengket. Ia butuh guyuran air agar tubuhnya lebih segar.

Ketika keluar dari kamar mandi, kamarnya kosong. Alifa tidak ada di sana. Entahlah. Istrinya mungkin ada di bawah bersama mertuanya.

Setelah berganti pakaian, Yudha duduk di kursi yang ada di kamarnya. Laki-laki itu mengambil salah satu buku yang ada di rak, memutuskan membaca buku untuk mengisi waktu.

Awalnya Yudha bisa menikmati kegiatannya. Namun, lambat laun, ingatan itu datang lagi. Ketika dirinya dipecat dan meninggalkan kantor tanpa mendapatkan pesangon. Ia keluar dengan tangan kosong setelah berbulan-bulan mati-matian berusaha mengejar targetnya.

Yudha akhirnya menutup buku itu. Ia menghela napas panjang. Kini ia sama sekali tidak punya penghasilan. Entah berapa lama ia bisa bertahan sampai mendapatkan pekerjaan baru. Tabungannya juga sangat sedikit, mungkin tidak cukup untuk biaya hidupnya dan Alifa dua bulan ke depan.

Pelan tapi pasti, mata Yudha mulai berembun. Ia frustasi memikirkan soal biaya kehidupan rumah tangganya. Bagaimana jika ia tidak kunjung mendapatkan pekerjaan? Ia tidak ingin membuat istrinya hidup dalam kesusahan setelah diratukan oleh kedua orang tuanya. Apalagi soal biaya lahiran. Semuanya pasti memakan biaya yang tidak sedikit.

Di saat yang bersamaan, Alifa melangkah masuk dengan secangkir teh hangat yang masih mengepulkan asap. Ia sengaja membuatkan minuman itu karena tahu suaminya selalu mabuk darat saat naik angkutan umum.

"Mas," panggil Alifa pelan.

Tatapan keduanya akhirnya bertemu.

Di detik yang sama, ketika Yudha bisa melihat mata Alifa yang jernih, tanpa alasan, air mata yang ia tahan sedari tadi akhirnya jatuh. 

Tanpa kata Alifa memeluk Yudha, membiarkan suaminya menumpahkan tangisnya dengan nyaman.

"Gapapa, sayangnya aku. Mas boleh nangis sepuasnya. Alifa ga akan tanya apa-apa."

---

Assalamu'alaikum readers...

Ga tau mau bilang apa di part ini

Intinya, part selanjutnya kita akan memasuki masa lalu. Dimana titik kebohongan pertama di kehidupan Yudha dimulai, atau mungkin lebih tepatnya kehidupan Ari?

Stay tune, ya

Insyaa Allah malam ini lanjut publish part berikutnya

Assalamu'alaikum

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang