Satu bulan berlalu tanpa kemajuan
Yudha sudah berulang kali memasukkan lamaran kerja. Sayangnya tidak ada kabar baik yang ia terima sampai saat ini. Satu minggu yang lalu ia memang mendapatkan tawaran untuk wawancara, namun entah kenapa, tiba-tiba saja dinyatakan bahwa ada kesalahan administrasi, sehingga tawaran tersebut sebenarnya tidak ditujukan untuknya. Jadilah tawaran itu hanya kabar bahagia yang hanya bertahan sesaat.
Sementara itu, kehamilan Alifa sudah menginjak usia enam bulan. Sampai saat ini, ia sama sekali tidak tahu soal Yudha yang tidak lagi bekerja. Setelah kejadian suaminya menangis waktu itu, Yudha pernah bertanya pada Alifa saat keduanya tengah bersiap untuk tidur.
"Kamu ga mau nanya sesuatu, Fa? Kamu ga penasaran?"
"Hmm...penasaran. Tapi Alifa akan menghormati keputusan, Mas. Alifa tahu ada sesuatu, tapi Mas memutuskan untuk ga kasih tau Alifa, kan? Alifa akan menghormati itu dan mempercayai Mas sepenuhnya. Alifa hanya akan menyediakan sebaik-baik tempat untuk Mas pulang. Jadi, ga ada yang ingin Alifa tanyakan."
Kalimat panjang itu jelas membuat Yudha terharu. Dalam hati ia bahkan berjanji akan mendapatkan pekerjaan baru setidaknya sebelum kehamilan istrinya berusia delapan bulan.
Ini adalah hari Minggu. Yudha sudah ada di rumah Alifa sejak kemarin malam. Ia memang tetap bolak-balik antara kota ini dan kota tempatnya dulu bekerja, seolah-olah tidak ada yang berubah dengan itu.
Kepulangan Yudha kali ini terasa jauh lebih menyesakkan dari pada sebelumnya. Hal itu karena tabungan Yudha sudah terkuras habis. Sifatnya yang dulu memang tidak hemat membuat isi tabungannya memang tidak terlalu banyak. Digunakan tanpa diisi lagi selama dua bulan berhasil membuat saldonya menipis. Apalagi pada kepulangan kali ini, Yudha seharusnya membawa seluruh gajinya, mengingat dua hari yang lalu adalah tanggal gajian.
Yudha sempat ragu ingin pulang karena uangnya tidak cukup. Jika ia menyerahkan uang dalam jumlah yang kurang pada Alifa, pasti istrinya itu bisa menebak apa yang terjadi selama ini. Lantaran tidak tahu apa yang harus dilakukan, Yudha akhirnya menemui Nia saat ayahnya masih ada di mesjid. Dengan menelan bulat-bulat gengsi dan harga dirinya, Yudha meminjam uang Nia untuk mencukupi sisa tabungannya.
"Kenapa harus minjam? Mama ini masih orang tua kamu. Ambil aja, ya." ucap Nia sambil menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah ke tangan Yudha.
"Yudha tahu Mama orang tua Yudha, tapi Yudha nanti akan kembaliin uangnya kalau Yudha udah kerja, Ma."
Tidak ada jawaban dari Nia saat itu. Ia hanya tersenyum sembari menatap wajah putra sulungnya yang masih belum baik-baik saja.
Terkait saran ayahnya, Yudha sebenarnya sudah dua kali menghubungi Om Era untuk menanyakan lowongan pekerjaan. Adik kandung dari ibunya itu berjanji akan memberi kabar. Namun, sampai saat ini belum ada kabar yang Yudha terima. Ia juga terlalu malu untuk bertanya lagi, mengingat hubungan keduanya yang tidak terlalu dekat.
Pagi ini, saat Ari tengah sibuk berolahraga tenis di lapangan kota bersama teman sekantornya, Nia mengambil satu keputusan penting. Ia akan melakukan hal yang sejujurnya sangat tidak ingin ia lakukan. Namun, demi putranya, ia akan menghadapi hal itu, bahkan jika harus berlutut sekalipun.
Setelah mematut penampilannya di depan cermin sembari meyakinkan diri, Nia melangkah menuju garasi. Ia mengeluarkan kendaraannya dari sana dan kemudian berkendara menuju satu tempat setelah pamit pada Zahra dan Annisa yang tengah sibuk menyaksikan tayangan kartun di televisi.
Lima belas menit berkendara, Nia akhirnya sampai di depan dua buah rumah yang bagian belakangnya saling terhubung. Rumah yang tidak terlalu besar. Terlihat asri karena ada beberapa tanaman rindang di bagian halamannya yang cukup luas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang [LENGKAP]
RomanceTentang keluarga dan pasangan. Tentang alur nyata kehidupan. Tentang berdamai dengan semua takdir menyakitkan. Tentang menerima, mencintai, dan saling menguatkan. Cerita tentang titik terang dalam hidup yang gelap dan diselimuti kebohongan.