BAB 2 | Pulang

64 8 0
                                    

"Sesuatu yang menyakitkan tidak selalu hanya membawa luka-luka. Ada pemahaman-pemahaman baik yang mengiringinya. Hanya saja manusia memiliki keterbatasan untuk memahaminya di waktu yang sama. Yang kita butuhkan hanyalah sabar dan berbaik sangka. Dua hal yang sering kali disepelekan manusia hingga merutuk takdir langit kerap kali menjadi akhir cerita."

-----

Azan shubuh terdengar lantang dari mesjid belakang kos. Menelisik masuk dari sela-sela jendela. Memanggil manusia agar bersegera menemui Sang Pencipta.

Namun, seolah sebagaimana siklusnya, hanya mereka yang masih sadar akan kodrat diri dan keberadaan-Nya lah yang merasa terpanggil. Beringsut turun dari empuknya kasur. Memaksakan langkah menuju kamar mandi. Berwudhu'. Sebagian telah bergegas menuju mesjid, sebagian lagi hanya menggelar sejadah di tempat masing-masing. Sama-sama bersiap menghadap Allah.

Gibran adalah salah satunya. Laki-laki dengan penampilan khas baru bangun tidur itu terlihat sedikit lebih segar akibat bekas air wudhu' yang ada di wajahnya. Sempat menimpuk Yudha yang masih ngorok sebelum melangkahkan kaki menuju mesjid meski agak sedikit terlambat.

Sesuai dugaannya, setelah kembali dari mesjid, Gibran menemukan Yudha dengan posisi yang masih sama seperti sebelumnya. Belum berubah sedikitpun. Membuat laki-laki itu menghela napas panjang sebelum akhirnya mengeluarkan semua jurus dan tenaganya hanya untuk memaksa Yudha melaksanan kewajiban shalat shubuhnya.

Setelah tidak mempan dengan menendang, memukul, membekap hidung sekaligus mulut, hingga mengguyur dengan air, Gibran akhirnya mengeluarkan jurus terakhir. Ia mengeluarkan ponselnya, membuka fitur kamera. Mengambil foto Yudha dengan tampang yang sangat tidak mengenakkan alias ancur abis!

"Gue bakal upload foto lo di ig kalau lo ga bangun sekarang Yud!"

Dan bagaikan kalimat sihir, hitungan detik setelahnya, Yudha bangkit. Kesal menyibak selimutnya. Bergumam tak jelas dengan sumpah serapah. Berjalan gontai menuju kamar mandi diiringi dengan senyum kemenangan yang tercetak jelas di bibir Gibran.

"Dasar raja jaim!"

-----

Pukul 08:30

Gibran sekali lagi menyugar rambutnya di depan cermin. Setelah memastikan penampilannya cukup tampan seperti biasanya, laki-laki itu akhirnya beranjak. Menyandang ransel hitam miliknya. Melirik ke arah Yudha yang sibuk mencoret-coret sesuatu.

"Lo ga ada kuliah hari ini?" tanya Gibran masih memandang temannya.

Tanpa merasa perlu menoleh, Yudha hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Oke. Kalau gitu, kuncinya..."

Ucapan Gibran berhenti kala Yudha tiba-tiba saja beralih menatapnya. Menandakan bahwa ada hal penting yang ingin laki-laki itu sampaikan.

"Hari ini, gue pulang. Jadi, kuncinya gue titip sama Ibu kos aja."

Bukannya fokus pada kalimat terakhir Yudha, Gibran malah mengukir senyum lebar atas berita kepulangan teman sekamarnya itu.

"Wah, kalau gitu besok gue bakalan dapat rendang, dong?!" sambut Gibran antusias.

Yudha hanya mendengus. Sudah menerka respon sahabatnya yang cukup gila makan ini. Dan seperti sebagaimana biasanya, Gibran akan selalu mendapat jatah sebungkus rendang dari mamanya yang merupakan orang minang asli setiap dirinya pulang.

"Sana kuliah! Lo ga mau telat lagi, kan?" ucap Yudha kembali memutar arah tubuhnya. fokus pada helaian kertas di hadapannya.

Gibran memberengut.

"Ga bisa banget sih lo, liat gue seneng. Tapi, gapapa deh. Yang penting gue besok makan rendang. Salam buat bonyok, Annisa dan Zahra, ya?"

Setelah mengucapkan hal itu, Gibran melangkah keluar dengan senyum yang tercetak jelas di bibirnya. Sementara, Yudha hanya tidak habis pikir. Bagaimana mungkin setiap kali kepulangannya, Gibran selalu menitip salam untuk kedua orangtua dan dua orang adiknya? Bahkan, dirinya merasa tak sedekat itu dengan keluarganya sehingga mampu menyampaikan salam dari Gibran.

Sesuai rencana, setelah menyelesaikan semua tugasnya untuk minggu depan, Yudha mulai beranjak menuju kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air sehingga terlihat lebih segar. Menghabiskan sisa potongan martabak tadi malam yang tadinya juga dimakan Gibran sebagai sarapan pagi ini. Setelah itu sibuk mengemas barang-barang yang akan dibawanya pulang.

Tepat pukul sebelas, Yudha akhirnya keluar dari kos setelah menitipkan kunci kamarnya pada pemilik kos. Memilih berjalan menuju terminal yang berjarak tidak terlalu jauh, meski sebenarnya laki-laki itu bisa naik angkot yang sering lalu-lalang di depan kosnya.

Hiruk-pikuk terminal menyambut kedatangan Yudha. Teriknya matahari menjelang siang ini dicampur dengan aroma pesing dari sudut terminal merupakan kombinasi yang sukses membuat perut Yudha serasa diaduk-aduk. Sensasi yang kerap kali dirasakannya setiap akan melakukan perjalanan darat yang cukup jauh.

Setelah berhasil mengusir rasa mual-mual di perutnya, Yudha bergegas beranjak. Mencari bus antarkota yang bisa membawanya pulang. Melewati satu-dua knek bus jurusan kota lain yang menawarinya tumpangan. Hingga akhirnya, ekor mata Yudha menangkap benda itu. Benda berbentuk semi balok dengan kombinasi warna hijau-biru pada hampir seluruh badannya.

Seorang knek dengan topi miring di atas kepalanya menghampiri Yudha. Menyebutkan kota tempat Yudha dilahirkan. Sebagai jawaban, Yudha memberikan ranselnya. Isyarat minta dibawakan. Lantas berjalan gontai mengikuti langkah laki-laki yang tengah tersenyum lebar-akibat mendapat penumpang-di depannya.

Kondisi bus yang masih cukup lengang memudahkan Yudha untuk memilih posisi tempat duduk yang ia sukai. Menghempaskan tubuh sebelum akhirnya menghela napas panjang. Ransel yang tadi diberikannya pada knek bus kini telah tersandar manis di sebelahnya. Seolah juga tengah melepas penat seperti dirinya.

Menimbang perjalanan yang akan dilakukannya akan memakan waktu hingga empat jam, Yudha segera mengambil posisi nyaman untuk tidur. Tidak peduli dengan jam yang kini menunjukkan pukul 11:45 . Itu artinya, kurang dari setengah jam lagi, azan dzuhur akan segera berkumandang. Terbukti dengan toa-toa mesjid yang mulai memperdengarkan tilawah Al-qur'an dari syekh-syekh berbeda.

Persis ketika ia ingin menutup mata, ponsel yang ada di dalam saku celananya terasa bergetar. Hal itu mau tak mau membuat Yudha bergerak malas. Mengeluarkan benda pipih itu dari tempatnya. Memeriksa siapakah yang tengah menelfonnya.

Mama

Satu kata itu membuat tubuh Yudha seakan membeku. Seolah tak kunjung terbiasa kala perempuan yang dipanggilnya mama itu menghubunginya. Seolah ada bagian di dalam dirinya yang tetap merasa asing meski sudah delapan tahun kejadian itu berlalu. Dan hal itu membuat Yudha hanya bisa terdiam. Menatap layar ponselnya hingga panggilan itu berakhir secara sepihak.

Setelah terdiam selama beberap detik, Yudha akhirnya bisa menghela napas tertahan. Menggenggam ponselnya kuat-kuat. Mengabaikan rasa bersalah sekaligus keegoisan yang berperang di dalam dirinya. Menjejalkan benda pipih itu di antara lipatan baju-bajunya agar rasa bersalah itu tidak menikamnya lebih dalam kalau-kalau mama kembali mencoba menghubunginya.

Setelah berhasil menguasai diri, Yudha kembali pada posisi nyamannya. Bersikap seolah semua baik-baik saja. Memejamkan mata meski sesungguhnya pertanyaan-pertanyaan yang sering mengganggu malam-malamnya kembali bermunculan di kepala. Menuntut jawaban seperti biasa. Tentang takdir dan keikhlasan yang memutari kehidupannya. Hingga berujung pada perasaan tak terima dan mengutuk takdir Allah yang seharusnya tidak pernah ia lakukan.

---

Jumpa lagi readers-ku...

Enjoy ceritanya ya? Jangan lupa vomment!

Semoga bermanfaat.

Jangan lelah berda'wah. Semoga lelah menjadi lillah :)

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang