Petir menyambar saat kesadaran Yudha perlahan kembali. Badannya telat basah kuyup oleh air hujan. Kepalanya terasa berdenyut, mungkin terlalu banyak menangis.
Sekali lagi, petir menyambar, membuat terang sekitar. Memberikan kesempatan pada Yudha untuk menyadari bahwa dirinya sedang terdampar sendirian di tengah-tengah ribuan makam.
Pelan-pelan, Yudha akhirnya ingat apa yang telah terjadi. Termasuk mengingat fakta apa yang baru saja terjadi.
Sesaat kemudian, Yudha memaksakan tubuhnya untuk segera bangkit. Ia ingat janjinya untuk kembali saat papanya operasi. Yudha memang tidak tahu pukul berapa tepatnya sekarang, tetapi sepertinya sudah terlambat. Meski begitu, ia tetap harus segera kembali. Tubuhnya sudah tidak sanggup lagi bermandikan hujan lebih lama.
Sayangnya, Yudha sudah kehabisan tenaga. Tubuhnya yang hampir berdiri tiba-tiba kembali jatuh. Kakinya bahkan tidak mampu untuk menopang tubuhnya sendiri.
Lambat laun, kepala Yudha semakin terasa nyeri dan berdenyut. Nyaris saja membuat laki-laki itu berteriak tidak tahan. Nyeri yang amat sangat itu hampir saja merenggut kesadarannya saat ia pelan mendengar suara langkah kaki mendekat.
Detik ini sungguh mirip dengan pertemuan mereka. Saat Yudha kecelakaan dan pelan-pelan hilang kesadaran, wanita itu melangkah mendekat, berjalan di bawah payung berwarna biru, dan datang untuk menyelamatkannya. Bedanya, kali ini kesadaran Yudha masih ada hingga ia bisa melihat wajah wanita itu dalam gelap, dan ia pelan mengucap lirih, "Alifa."
Di bawah payung biru favoritnya, untuk kedua kalinya, Alifa menemukan Yudha yang kini sudah menjadi suaminya dalam kondisi tidak baik-baik saja.
Alifa merendahkan tubuhnya. Ia memeluk tubuh Yudha yang sangat dingin tanpa mengucapkan apapun. Ia mengusap punggung yang kerap ia peluk itu dalam diam.
Pelan tapi pasti, air mata Yudha kembali mengalir. Meski tidak membuat suhu tubuhnya kembali normal, bagi Yudha, pelukan itu adalah pelukan paling hangat yang pernah ia dapatkan. Seolah semua kekhawatiran dan rasa sedih itu menguap begitu saja. Ia sungguh merasa tenang saat tangan Alifa merangkulnya.
Setelah tadi nyaris berjam-jam mengutuk diri atas kelahirannya sendiri, bertanya kepada entah siapa kenapa harus dia yang menerima nasib ini, dalam pelukan Alifa, Yudha seolah tahu jawabannya. Jawaban yang mungkin terdengar sederhana, tapi menjadi satu-satunya alasan mengapa Yudha tidak mengakhiri hidupnya sendiri beberapa jam yang lalu.
-----
Sepuluh menit kemudian, Alifa berhasil memapah Yudha dengan bantuan Gibran. Tubuh suaminya sangat dingin, mungkin saja sudah jatuh ke kondisi hipotermia. Beruntung sebelum berangkat Alifa membawa satu selimut karena sudah menduga hal ini akan terjadi.
Di dalam mobil Gibran, Yudha diselimuti oleh Alifa. Sementara itu, Gibran membeli minuman hangat dan beberapa makanan di minimarket yang kebetulan ada di sekitar sana.
Beberapa menit kemudian, setelah menghabiskan satu gelas teh hangat dan dua buah roti, kondisi Yudha akhirnya membaik. Suhu tubuhnya sudah normal. Begitupun dengan tenaganya yang sudah kembali. Meski tentu saja kondisi batinnya masih berantakan.
Bersamaan dengan itu, hujan deras di luar sana mulai reda. Menyisakan gerimis yang masih tertinggal.
Ingin memberikan waktu bagi Alifa dan Yudha berdua, Gibran akhirnya memilih keluar dari mobil. Ia duduk di pelataran mini market dan menghabiskan satu mie instant cup sembari menunggu.
Di dalam mobil lengang sampai akhirnya Yudha lirih bicara, "Maaf"
Sembari tersenyum, Alifa menjawab, "Kenapa Mas minta maaf?"
Yudha tidak menjawab. Ia menunduk, menyembunyikan tangisnya yang lagi-lagi hampir pecah. Bibirnya tidak sanggup mengucapkan bahwa dirinya yang seperti ini sama sekali tidak pantas menjadi suami Alifa. Ia takut jika kalimat itu keluar, maka Alifa akan benar-benar minta pisah darinya.
"Mas, lihat aku deh."
Yudha mengangkat kepalanya. Mereka akhirnya bertatapan.
"Mas, di dunia ini, tidak seorang pun bisa memilih bagaimana ia lahir. Dulu, guru aku pernah bilang, kita adalah anak dari keadaan. Jadi, ketika mungkin kita lahir dengan cara yang tidak kita inginkan, bukan berarti Mas bukan jadi orang yang tidak berharga."
Dalam diamnya, untaian kalimat itu membuat Yudha paham bahwa Alifa sudah tahu semuanya.
Selagi Yudha diam, Alifa membawa suaminya ke dalam pelukannya.
"Alifa mau mengucapkan terima kasih karena Mas sudah bertahan di kehidupan yang tidak menyenangkan ini. Mas hebat banget bisa ada di titik ini. Alifa akan menggantikan dunia ini untuk meminta maaf ke Mas atas segala hal yang pernah membuat Mas menangis."
Entah untuk keberapa kalinya, Yudha menangis lagi. Kali ini di dalam pelukan Alifa yang menampung semua kesedihannya.
"Lalu, Mas jangan merasa sendirian di dunia ini, ya. Ada banyak orang yang sayang sama Mas. Papa Ari yang mungkin terlihat keras sebenarnya juga sayang sama Mas, kan. Mama Nia bahkan membesarkan Mas dengan baik walau Mas tidak terlahir dari rahimnya. Ada Farhan, Ara, dan Nisa juga. Alifa sama calon anak kita pasti juga sayang banget sama, Mas. Di atas semua itu, ada Allah yang selalu memperhatikan kita setiap saat. Allah yang memberikan kesempatan untuk kita hidup dengan nyaman. Semuanya bentuk sayang Allah ke kita, kan. Jadi, Mas punya banyak sekali orang yang bisa diandalkan. Jangan merasa sendiri hanya karena masa lalu yang sudah tertinggal, Mas."
Meski tidak ada jawaban, Alifa bisa merasakan Yudha mengangguk di dalam pelukannya.
"Ke depannya, kita bahagia bareng-bareng ya, Mas. Karena di antara alasan rasa pedih yang Mas rasakan selama ini, bisa jadi semua itu supaya Mas bisa menjadi suami Alifa, menjadi ayah dari anak-anak kita kelak, hidup bahagia dan membayar semua rasa sakit Mas selama ini."
Untaian kalimat itu adalah harapan yang kelak Yudha pegang erat-erat. Ia berjanji, ketika hidupnya diterjang suatu masalah, ia akan tetap bertahan untuk satu janji itu. Janji hidup bahagia bersama keluarga kecilnya.
Kali ini, gantian Yudha yang memeluk Alifa. Ia mengecup kening istrinya, membisikkan ribuan terima kasih.
Badai besar itu akhirnya bisa reda. Semua kegelapan yang mengungkung Yudha sepanjang hidupnya bisa sirna dalam sekejap akibat kalimat Alifa yang meyakinkan. Seolah-olah, dalam puluhan tahun hidupnya yang gelap, ia akhirnya menemukan titik terang yang pelan-pelan menuntunnya ke arah cahaya.
"Setelah ini, kita ke rumah sakit ya, Mas. Alifa udah dikabari Mama kalau operasi Papa sudah selesai."
Sebagai jawaban, Yudha mengangguk.
Malam atau lebih tepatnya pagi buta hari itu, mobil Gibran melaju ke rumah sakit. Meninggalkan makam yang juga mengubur semua rasa sakit Yudha seumur hidup.
-----
Assalamualaikum readers
Masya Allah
Finally, selesai juga 😭😭Ada yang terharu?
Kalau ga ada, gapapaTapi aku terharu banget ☝🏻☝🏻☝🏻
Alhamdulillah perjalanan bertahun-tahun menyelesaikan cerita ini berakhir juga
Cerita romantis islami pertama yang aku selesaikan
Epilog akan aku upload secepatnya sebagai bentuk perpisahan kita ke Alifa dan Yudha yang bismillah akan selalu berbahagia
See you secepatnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang [LENGKAP]
RomansaTentang keluarga dan pasangan. Tentang alur nyata kehidupan. Tentang berdamai dengan semua takdir menyakitkan. Tentang menerima, mencintai, dan saling menguatkan. Cerita tentang titik terang dalam hidup yang gelap dan diselimuti kebohongan.