BAB 11 | Kemudahan

44 5 2
                                    

"Jangan bersikap seperti pengecut jika kau bahkan bukan pelakunya."

-----

Yudha menghela napas panjang. Menatap tulisan kantor polisi yang tampak begitu besar di depan matanya. Menelan saliva lamat-lamat. Merapal do'a dalam hati semoga semua urusannya lancar dan dimudahkan.

Belum lagi sampai kakinya melangkah, matanya menangkap keberadaan atasannya di depan mobil berwarna hitam. Buru-buru melangkah ke sana. Lebih mempersiapkan diri karena semuanya akan segera dimulai.

Tanpa bicara, atasan Yudha melangkah masuk ke dalam kantor polisi. Membuat Yudha mau tak mau mengikuti dari belakang. Menahan agar tetap menegakkan kepalanya. Satu prinsip yang Yudha pegang hingga saat ini,

"Jangan bersikap seperti pengecut jika kau bahkan bukan pelakunya."

Seorang laki-laki yang cukup tua dengan aura yang kuat telah menanti kedatangan mereka. Dengan isyarat mata, Yudha diperintahkan untuk duduk. Sementara atasannya masih berdiri dengan wajah dingin.

"Selidiki kasus ini hingga ke akar-akarnya. Jangan abaikan keganjilan sekecil apapun. Jika dia bersalah, beri hukuman berat. Jika tidak, temukan penjahat sebenarnya!"

Selepas kalimat singkat-singkat bernada perintah itu, atasan Yudha beranjak pergi. Meninggalkan Yudha dan Bapak tua itu dalam kesunyian yang terasa mencekam.

"Jadi, kau korupsi? Menerima suapan? Atau kedua-duanya?" tanya bapak tua itu tanpa basa-basi.

"Tidak satupun di antaranya yang saya lakukan." jawab Yudha dengan nada mantap.

Tidak puas dengan jawaban Yudha, bapak tua itu kembali mengulang pertanyaannya. Kali ini dengan nada yang lebih tegas. Namun, apa mau dikata, Yudha sama sekali tidak mengubah jawabannya. Persis sama dengan nada yang lebih yakin.

"Astaga! Kau tidak mendengarku, hah? Aku hanya memberikan pilihan korupsi, menerima suap, atau keduanya. Kau tuli?"

Bahkan, setelah kalimat benatakan itu pun, Yudha masih mempertahankan jawabannya.

"Ya Tuhan! Kau ini bebal sekali. Bisa-bisa mati di tempat aku menghadapi pengecut sepertimu."

Tanpa bicara lagi, bapak tua itu berlalu pergi. Membuat Yudha menghela napas lebih kuat. Kesal disebut pengecut atas kesalahan yang sama sekali tidak ia lakukan.

Kursi di hadapan Yudha kembali berderit. Ia pikir, bapak tua tadi yang kembali duduk di hadapannya. Membawa sesuatu yang mungkin bisa membantunya meredakan emosi.

Namun, lihatlah! Sosok di hadapan Yudha sudah berganti. Laki-laki di hadapannya hampir seumuran dengan dirinya. Dan Yudha hanya butuh waktu beberapa detik untuk mengenali wajah itu.

"Gibran?"

-----

Flashback on--

Makan malam kali ini terasa berbeda. Semua orang yang duduk melingkari meja seolah bersepakat untuk tidak mengeluarkan suara. Bahkan, Zahra yang biasanya semangat menjahili siapapun, kini hanya asik menikmati makanannya. Membuat Nia sedari tadi menatap heran pada anak-anak dan suaminya.

Selepas makan malam, Zahra dan Annisa berlalu ke kamar. Dua gadis itu selalu mengerti akan kewajiban mereka untuk belajar meski di umur yang masih terbilang kecil. Bahkan, Zahra sudah sibuk mempelajari pelajaran kakaknya yang jelas lebih tua empat tahun darinya.

Seperti biasa, Nia dan Ari--papa Yudha--memilih bersantai di ruang keluarga. Menonton perkembangan negeri lewat televisi sambil sesekali mengomentari apa yang terjadi.

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang