BAB 13 | Undangan

42 5 3
                                    

"Yang mengendalikan seseorang adalah hatinya. Jika hati itu kemudian dikuasai oleh setan, maka hilanglah segala bentuk kepedulian dan kewarasan."

-----

Jalan raya yang padat dengan kendaraan sama sekali tidak berhasil membuat Yudha memelankan laju mogenya. Laki-laki itu malah semakin menambah kecepatan kala mengingat apa yang sebenarnya kini membuatnya tanpa pikir panjang memutuskan untuk bergegas pulang. Tidak peduli lagi dengan izin pada atasan atau pekerjaan di kantor yang harus diserahkannya sore ini. Pesan yang beberapa menit lalu mendarat di ponselnya itu berhasil mengambil separuh akal sehat yang Yudha punya.

Masalah korupsi dan ancaman penjara memang telah resmi menyingkir dari hidup Yudha. Data yang tempo hari membuat Yudha dilaporkan, terbukti telah dimanipulasi. Salah seorang karyawan adalah dalangnya. Tidak suka dengan kesuksesan yang Yudha capai dengan mudah adalah alasan klasik yang dia digunakan. Meski Yudha memutuskan tidak ambil pusing, atasan Yudha tetap mengambil keputusan tegas untuk memecatnya dari bank.

Hari ini, ketika Yudha sudah kembali bekerja seperti biasa, Allah kembali menghadapkan Yudha pada sebuah skenario yang entah berpengaruh seperti apa pada kehidupan laki-laki bernama lengkap Atthallah Yudha Aldasfa itu nantinya.

-----

Pintu bercat coklat itu dibanting secara mendadak. Membuat Zahra yang sedang menonton kartun sendirian di ruang tengah terperanjat kaget. Tentu saja. Zahra jelas-jelas sudah mengunci pintu setelah semua orang pergi dan meninggalkannya di rumah sendirian. Keatangan Yudha secara tiba-tiba bukanlah hal yang diprediksinya.

Zahra sama sekali tidak paham dengan rahang Yudha yang telah mengeras. Atau dengan urat-urat di tangan Yudha yang terlihat jelas. Gadis berusia tujuh tahun itu hanya ingin tahu kenapa udanya pulang lebih cepat hari ini.

"Waah.. Uda udah pulang!! Kenapa Uda pulangnya cepat?" sambut Zahra riang seraya berlari kecil ke arah Yudha yang masih mematung di ambang pintu.

Persis ketika gadis itu sudah memeluk kaki Yudha, entah sadar atau tidak, laki-laki itu melangkah masuk. Membuat Zahra terbanting akibat gerakannya. Kepala gadis itu terbentur pada ujung meja tamu sehingga ia berteriak kaget sekaligus mengaduh kesakitan. Namun, Yudha mana peduli. Bahkan, ia tak menoleh. Hanya terus melangkah dengan tangan terkepal menuju kamarnya.

Pesan yang membuat Yudha pulang itu benar adanya. Buktinya, di atas satu-satunya meja yang ada di kamarnya, sebuah undangan berbungkus plastik diletakkan dengan manis. Undangan berwarna soft pink dengan ukiran nama dua orang yang akan mengadakan akad nikah esok hari.

Dengan segala emosi yang kini bersarang dalam dirinya, Yudha mengambil undangan itu. Menatapnya lekat-lekat. Seolah-olah berharap bahwa nama yang ada di sana bukanlah Lidya Hafra Osky, perempuan yang benar-benar ia cintai.

Hitungan detik, undangan itu sudah tak berbentuk. Remuk beriringan dengan emosi Yudha yang semakin meluap. Botol parfum yang ada di atas meja kemudian menyusul pecah. Diikuti oleh kaca lemari yang retak karena dipukul Yudha habis-habisan dengann tangan kosong.

Di luar sana, Zahra dengan kepalanya yang nyeri mulai menangis. Ia takut sekali. Ia tak mengerti dengan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Pecahan dan suara-suara mengerikan lainnya dari kamar Yudha membuat tangisnya semakin deras. Gelagapan, ia membekap mulut guna meredakan tangis. Lirih di dalam hati menyebut nama Allah. Mengadukan ketakutannya.

-----

Untuk pertama kalinya dalam kurun waktu nyaris lima belas tahun, suasana rumah itu sungguh mencekam. Teriakan Yudha selalu terdengar nyaris tiap menit. Nia sudah menangis di dalam kamar semenjak pulang kantor dan menemukan putra sulungnya mengamuk. Annisa dan Zahra meringkuk di dalam kamar. Menyembunyikan kepala di bawah bantal. Memaksa diri untuk tidur. Mungkin, hanya Farhan yang saat ini masih santai bermain game di ruang tengah. Sesekali melirik ke arah kunci kamar Yudha yang diletakkannya di atas meja.

Ya, tak berapa lama setelah kedatangan Yudha, Nia juga pulang untuk menyiapkan makan siang. Wanita itu akan kembali ke kantor setelah memastikan Zahra makan siang dan menunaikan sholat dzuhur. Namun, apa yang didapatinya di rumah sungguh di luar dugaan. Zahra yang menangis dan mengadukan tentang kepulangan Yudha yang tiba-tiba.

Meski sudah mendengar betapa kacaunya kamar Yudha dari luar, Nia tetap memutuskan untuk melihat langsung. Kakinya spontan gemetar dan lemas saat melihat Yudha yang tengah mengamuk dengan tangan berdarah. Tanpa pikir panjang, Nia menghubungi Farhan. Memintanya pulang dengan segera.

Farhan yang mendengar suara Nia bergetar menahan tangis tanpa pikir panjang langsung pulang. Meninggalkan tugas sekolah dan asramanya. Cemas sekali. Pastilah mamanya menelfonnya karena hal penting. Keberadaan ayahnya yang hari ini tengah dinas luar membuat Farhan merasa bertanggung jawab pada keadaan keluarganya di rumah.

Hal yang pertama kali dilakukan oleh Farhan adalah mengurung Yudha di kamar. Ia takut Yudha akan bertindak aneh. Mencari pisau dapur dan bunuh diri misalnya. Setelahnya, ia membantu Nia dan Zahra untuk tenang. Terakhir, ia menjemput Annisa dari sekolah dan membawanya pulang.

Farhan awalnya tak mengerti alasan saudara kandungnya tiba-tiba saja seperti itu. Namun, ponsel Yudha yang entah mengapa bisa berada persis di depan pintu kamar membuatnya menngerti. Lidya akan menikah besok dan ia meminta Yudha untuk menggagalkan pernikahannya.

Seketika, Farhan merasa keputusannya mengurung Yudha sudah benar. Ia tentu tak sudi Yudha menemui perempuan itu lagi, apalagi sampai menggagalkan pernikahannya agar mereka berdua bisa bersama. Farhan yakin Yudha berniat pergi ke rumah wanita itu untuk melakukan apa saja agar pernikahan perempuan menjijikkan itu batal, termasuk menikahinya hari ini juga.

Menjelang malam, suasana itu tak berubah. Teriakan Yudha tetap terdengar. Namun, frekuensinya sudah sedikit berkurang. Laki-laki itu pasti lelah berteriak frustasi dengan kosakata kasar sejak siang. Termasuk berteriak memanggil nama Farhan untuk membukakan pintu kamarnya.

Kedatangan Ari yang baru saja pulang dinas-lah yang mengubah suasana mencekam itu. Dalam keadaan lelah, tentu ia marah bukan main melihat kondisi rumah seperti ini. Setelah mendengar penjelasan Farhan, dengan rahang mengeras, Ari membanting pintu kamar Yudha hingga terbuka. Persis seperti yang dilakukan Yudha pada pintu rumah tadi siang.

Tanpa peduli dengan pecahan kaca yang berserakan atau kondisi putra sulungnya yang berantakan, Ari menyeret Yudha secara paksa untuk masuk ke dalam kamar mandi. Menahan emosi sekuat mungkin atas ucapan Yudha yang mengatainya anjing. Lantas, mengguyur putranya tanpa ampun dengan air dingin. Meneriakkan dua kalimat yang seketika menghentikan perasaan hopeless di hati Yudha

"KAMU KETAGIHAN SAMA PELET DARAH DIA, HAH? DASAR GA PUNYA OTAK!!"

-----

Assalamualaikum readerss..

Gimana part ini? Ada yang nafasnya mendadak ga teratur pas baca, ga? Soalnya, aku yang nulis mendadak jadi sesak sendiri

Maaf atas ketidaknyamanan kata-kata kasarnya, ya. Aku bikin kek gitu biar feel-nya dapet gitu. Nanti kalian bakalan tau kok, kenapa Ari alias ayah Yudha bisa semarah itu.

Penasaran kelanjutannya?

See you in the next part, guys!

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang