"Pernikahan adalah perjanjian yang kuat dan kukuh
(Mitsaaqan Ghalizhaa)"---
Waktu semakin cepat berlalu. Hari yang telah disepakati itu tidak terasa sudah ada di depan mata. Dengan segala persiapan yang sudah hampir selesai, keluarga dari kedua mempelai siap menyongsong pernikahan putra dan putri mereka.
Namun, ada satu hal yang sampai saat ini belum selesai. Adalah Tokoh utama kita dengan pertanyaan yang selalu menghantuinya selama nyaris dua bulan ini. Pertanyaan yang sampai saat ini belum ia temukan jawaban pastinya.
Malam beranjak semakin matang. Laki-laki itu akhirnya bangkit dari posisi duduknya. Masuk ke dalam rumah. Menghindari angin malam yang sudah memeluknya terlalu lama.
Seisi rumahnya belum lelap. Terutama di bagian dapur. Ia masih bisa melihat wanita yang membesarkannya mondar-mandir bersama neneknya. Kedua adik perempuannya juga sibuk membantu. Memotong sayuran sambil mendengar lagu.
Seraya menghela napas, laki-laki itu melanjutkan langkah. Mengabaikan rentetan kesibukan. Tidak ingin keluarganya melihat sedikit saja raut gelisah di wajahnya.
Malam ini, langit-langit kamarnya terasa lebih terang. Seterang janji-janji hari esok yang akan ditempuhnya. Membuatnya lagi-lagi enggan untuk menutup mata.
Dengan perasaan yang berkecamuk, laki-laki itu kembali membuka kertas yang ada di dalam genggamannya. Membaca rentetan huruf-huruf yang tertulis di sana. Rentetan huruf yang merangkai nama lengkap calon istri dan mertuanya. Membuat pertanyaan-pertanyaan itu kembali muncul secara bergantian di dalam kepala.
Ya Allah...
Mampukah aku mencintainya setelah ini?-----
Pukul 09.45, Yudha berangkat menuju masjid tempat dimana akad nikahnya akan dilangsungkan. Ia telah mengenakan pakaian yang bernuansa putih. Pakaian yang Alifa pilih sendiri untuk momen terpenting di hidup mereka.
"Jangan gugup banget."
Yudha menoleh ke samping, ke arah ayahnya yang baru saja bicara. Pagi ini ayahnya terlihat amat berwibawa dengan baju batik dan peci hitam. Wajah tuanya masih terkesan tegas sebagaimana Yudha mengingatnya di masa lalu.
"Do'ain Yudha, yah."
Ari yang biasanya memang tidak banyak bicara hanya menganggukkan kepala untuk merespon permohonan putra sulungnya itu. Meski tidak terlihat, sejujurnya dari jauh-jauh hari, Ari-lah yang mencemaskan banyak hal. Ia takut jika putranya tidak cukup baik, tidak cukup piawai, tidak cukup ta'at. Dibanding siapapun, Ari-lah yang paling banyak berdo'a demi kebahagiaan rumah tangga Yudha kelak.
Sepuluh menit kemudian, rombongan keluarga Yudha akhirnya sampai. Keluarga Alifa nampaknya sudah tiba lebih dulu. Terbukti dari beberapa mobil yang terparkir rapi di halaman masjid.
Persis ketika Yudha melangkahkan kaki masuk ke dalam masjid, separuh kekhawatiran yang menggelayuti hatinya beberapa hari terakhir luruh. Berganti dengan debaran kencang yang membuatnya gugup. Apalagi saat sudut matanya menangkap sosok Alifa yang sedang menundukkan kepala untuk menghindari kontak mata di antara mereka berdua. Aduhai, tanpa kontak mata pun Yudha sudah bisa melihat betapa cantik Alifa hari ini.
Tanpa berlama-lama, prosesi akad segera dimulai. Yudha telah duduk berhadapan langsung dengan Arfan yang hari ini juga terlihat amat berwibawa. Terpaut dua langkah di belakangnya, Alifa duduk bersimpuh, menunggunya mengucapkan janji suci itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang [LENGKAP]
RomanceTentang keluarga dan pasangan. Tentang alur nyata kehidupan. Tentang berdamai dengan semua takdir menyakitkan. Tentang menerima, mencintai, dan saling menguatkan. Cerita tentang titik terang dalam hidup yang gelap dan diselimuti kebohongan.