Menjelang senja, Yudha malah sibuk mondar-mandir di dalam kamar. Tangan kanannya memegang handphone yang menampilkan kontak Alifa yang baru saja ia tambahkan. Laki-laki itu tiba-tiba merasa bingung apa ia harus mengirim pesan berupa ucapan terima kasih pada Alifa atau tidak. Namun, jika dikirim pun, ia bingung harus berterimakasih untuk apa.
Kesal karena tidak kunjung menemukan jawaban untuk kebingungannya, Yudha akhirnya memutuskan keluar kamar. Mungkin dengan memandangi langit yang mulai berubah warna menjadi jingga kemerahan, pikirannya bisa sedikit tenang.
Sesampainya di teras, bukannya menemukan ketenangan, kebingungan Yudha malah bertambah. Bagaimana tidak? Ia melihat masih ada sebuah mobil terparkir di halaman rumahnya. Bukankah rombongan keluarga Alifa sudah pergi? Bahkan semua tetangganya yang tadi membantu beres-beres sudah kembali ke rumah masing-masing. Lantas mobil siapakah itu?
Jawaban itu Yudha dapatkan saat ia melihat seseorang dengan lengan kemeja yang digulung hingga siku mendekat ke arahnya.
"Gibran? Ngapain lo di sini?"
Tentu saja Yudha kaget. Ia tidak mengundang satu orang pun ke acara lamaran hari ini. Meski tidak ada hadits shahih mengenai hal ini, ada salah satu hadits yang selaras mengenai dianjurkannya menyembunyikan rencana. Lalu, kenapa sahabatnya itu bisa ada di sini?
"Ya menghadiri acara lamaran lo, lah."
Jawaban yang jelas tidak membuat Yudha puas. Menghadiri? Memangnya siapa yang...
"Siapa yang undang gue?" ucap Gibran seolah menyelesaikan kalimat yang terlintas di pikiran Yudha.
"Orang tua lo dong, yang undang keluarga gue."
Yudha masih diam. Ia belum bisa memahami maksud Gibran. Memangnya apa kepentingan Gibran dan keluarganya diundang?
"Alifa itu adik gue."
Jika saja Yudha sedang minum, dapat dipastikan air yang ada di dalamnya sudah muncrat keluar. Bagaimana tidak? Bisa-bisanya Gibran menyebut calon istrinya sebagai adik?
"Gue serius. Gue dan Alifa itu saudara satu susuan. Lo pernah denger hukum saudara satu susuan kan?"
Meski terkejut dan tentu saja tidak percaya, demi melihat wajah Gibran yang terkesan tidak bercanda, Yudha akhirnya diam saja. Ia mendengar dan menganggukkan kepala sebagai respon atas pertanyaan Gibran barusan.
"Dulu, waktu bunda hamil gue, beliau depresi karena baru cerai sama ayah gue. Bahkan gue sempat mau digugurkan karena beliau merasa ga sanggup mengurus anak sendirian. Nah, yang bikin bunda gue bertahan sampai melahirkan adalah ibunya Alifa. Tapi karena masih depresi, bunda gue kekurangan ASI. Mungkin pengaruh hormon atau yang lain. Alhasil, gue disusui sama ibu Alifa selama hampir tiga bulan."
Penjelasan yang runtut itu memang berhasil membuat Yudha percaya. Namun, ada satu hal yang mengganjal di kepala Yudah saat ini.
"Alifa kan lebih muda dua tahun dari kita. Dia juga putri tunggal. Gimana mungkin ibu nya nyusui lo saat itu?"
"Ah, gue belum pernah bilang ya? Gue sebenarnya sebaya sama Alifa. Cuma lebih cepat masuk SD sama akselerasi satu kali pas SMP. Alhasil gue jadi seangkatan kuliahnya sama lo."
Kalimat barusan akhirnya menggenapkan penjelasan Gibran. Ah, siapa sangka dunia ini begitu sempit. Eh, tetapi...
"Perasaan pas gue datang ke nikahan lo, gue ga liat Alifa. Orang tuanya juga."
"Yakin lo?"
Ditanya balik begitu membuat Yudha jadi ragu dengan pernyataannya.
"Orang tua Alifa ada, Yudh. Mungkin lo ga kenal karena waktu itu lo belum pernah ketemu sebelumnya, kan? Kalau Alifa emang saat itu lagi ada panggilan darurat di IGD. Terpaksalah dia kocar-kacir ke rumah sakit pake kebaya. Makanya kalian ga ketemu."
Yudha akhirnya mengangguk-angguk. Kali ini ia tidak punya pertanyaan lagi. Meski separuh hatinya juga belum percaya sepenuhnya.
"Lo ingat waktu gue datang ke kantor lo malam-malam? Buat nyuruh lo pulang karena mama lo khawatir."
Kali ini Yudha juga menganggukkan kepalanya. Tentu ia masih mengingat momen itu karena di malam itu ia akhirnya bertemu Alifa setelah lima malam berturut-turut mengunjungi rumah sakit.
"Malam itu gue ngikutin lo ke rumah sakit. Gue jelas kaget karena lo ke rumah sakit selarut itu, tapi karena raut wajah lo saat itu keliahatan baik-baik aja, malah cenderung bahagia, gue akhirnya memutuskan ga nanya ke lo. Sebagai gantinya, gue telfon Alifa malam itu juga. Gue kirimin dia foto lo dan tanya apa dia pernah liat lo di rumah sakit. Di luar dugaan, Alifa malah cerita panjang lebar ke gue. Nadanya memang kesal, tapi gue sadar dia sama sekali ga keberatan kalau lo datang lagi dan lagi. Malam itu akhirnya gue sadar ada sesuatu yang spesial di antara lo berdua."
"Tapi lo tau ga, Yudh? Respon gue saat itu adalah, gue larang dia untuk lebih dekat sama lo."
Sepotong kalimat itu membuat Yudha menelan ludah.
"Gue kenal lo dari lama. Kita bahkan bertahun-tahun tidur di kamar yang sama. Gue hapal semua kebiasaan lo, termasuk kebiasaan pacaran lo itu. Gue ga bakalan merasa lebih baik dari lo hanya karena gue ga pernah pacaran. Tapi lo percaya ga yudh? Alifa itu benar-benar istimewa. Dia benar-benar defenisi baik banget di mata gue. Makanya gue ga rela dia berjodoh sama lo."
"Tapi takdir siapa yang tahu. Setelah berpisah, rupanya kalian dipertemukan lagi lewat comblangan Satria. Waktu Alifa cerita soal comblangan itu, gue langsung ke rumah Alifa. Niat gue jelas untuk bujuk dia supaya nolak lo. Tapi, malam itu, gue lihat Alifa bimbang banget. Tatapannya bener-bener resah seolah ga tau harus apa. Kesal dengan diri gue sendiri yang selama ini selalu bersikap sok tahu tentang lo, akhirnya gue bilang, 'lakuin aja'. Beberapa hari kemudian, kalian akhirnya bertemu. Harusnya Alifa datang dengan gue, tetapi gue sengaja menolak karena ga mau keputusan penilaian Alifa nantinya terpengaruh oleh bagaimana gue menilai lo selama ini."
"Dan disinilah gue sekarang. Di satu sisi, gue masih agak ga yakin sama lo. Apalagi waktu Satria cerita lo mutusin tujuh cewek sekaligus, amarah gue langsung sampai ubun-ubun. Beruntung Satria bilang lo udah babak belur, setidaknya itu bisa jadi balasan buat lo. Tapi, ayah Arfan bilang, lo orang baik dan mau terus belajar. Beliau adalah orang yang gue hormati. Jadi, gue juga percaya dengan keputusannya. Pada akhirnya, gue mau lo jaga adik gue baik-baik. Dia benar-benar permata di keluarganya."
Panjang lebar Gibran bicara, Yudha hanya merespon dengan anggukan kepalanya--lagi. Namun, kali ini anggukannya sungguh-sungguh. Ia bahkan sampai berjanji di dalam hati untuk menjadi kepala keluarga yang baik dan menjaga Alifa sebagai istrinya kelak.
"Gue juga minta maaf. Selama ini pandangan gue terlalu buruk ke lo."
Yudha yang sedari tadi hanya menatap lurus ke depan akhirnya menoleh. Laki-laki itu tersenyum lebar, seolah mengatakan tidak apa-apa lewat matanya yang kini berubah menjadi sipit. Hal itu wajar sekali. Sikap Gibran adalah bukti bahwa ia menyayangi adiknya dengan baik. Ia hanya memastikan Alifa mendapat seorang imam yang pantas. Kakak mana yang akan membiarkan adiknya memilih pasangan hidup yang salah?
"Gue titip Alifa ya, Yudh. Dia bener-bener sayang ke lo."
Senyum Yudha menipis akibat kalimat Gibran. Kalimat serupa yang sudah didengarnya beberapa menit yang lalu dari mulut Hana, calon mertuanya. Kalimat yang membuatnya jadi bertanya-tanya, apakah sebenarnya dia sudah menyukai atau bahkan menyayangi Alifa?
-----
Assalamu'alaikum readers..
Ciee,,, update nya cepet
Ahahahahah
Sekarang aku punya taktik menulis terbaru. Aku sering nulis pas rapat organisasi. Semakin banyak rapat, semakin lancar ide, semakin sering update. Wkwkwkwk
Maaf kakak dan abang koor 🙏🏻
Jangan ditiru ygy
Oke-oke,, udah nih
Lamaran selesai, part depan tinggal nikah. Sat set sat set, jadi 😌
See you next part, guys
Assalamu'alaikum
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang [LENGKAP]
RomanceTentang keluarga dan pasangan. Tentang alur nyata kehidupan. Tentang berdamai dengan semua takdir menyakitkan. Tentang menerima, mencintai, dan saling menguatkan. Cerita tentang titik terang dalam hidup yang gelap dan diselimuti kebohongan.