"Kita adalah anak-anak dari keadaan. Namun kita tetap memiliki kekuasaan untuk menentukan pilihan. Setidaknya untuk memilih kepribadian dan jenis masa depan seperti apa yang kita inginkan"
-----
Sinar jingga terlihat begitu pekat kala Yudha memutuskan turun. Memberikan selembar uang berwarna biru pada sopir yang terlihat begitu kegerahan. Berdiri sejenak seraya meghirup udara dari kota kelahirannya lantas berjalan menelusuri jalan setapak yang dihiasi kerikil-kerikil kecil. Melangkah menuju rumah yang-harus ia akui-begitu ia rindukan.
Dari ujung jalan, Yudha bisa melihat rumah sederhana yang begitu ia kenal masih berdiri tegak. Rumah yang dipinjamkan pada ayahnya sebagai salah satu fasilitas pegawai. Rumah yang menjadi saksi awal kehidupannya hingga saat ini.
Pintu cokelat itu terbuka. Seorang wanita yang berumur empat puluhan tersenyum melihat kedatangannya. Sayang, sekeras apapun ia mencoba, ia hanya bisa membalas senyum lebar itu dengan senyuman tipis. Sopan mengulurkan tangan. Mencium punggung tangan wanita yang beberapa tahun terakhir dipanggilnya mama.
"Kamu lapar? Mau langsung makan?"
"Ga usah, Ma. Makannya nanti malam aja."
Setelah mengucapkan kalimat itu sebagai jawaban, Yudha beranjak masuk. Segera menuju kamarnya yang terletak paling ujung. Tidak berniat menoleh pada mamanya yang terdengar menghela napas panjang. Mungkin tersinggung akan nada bicaranya yang terkesan dingin. Entahlah.
Yudha menekan sakelar lampu yang terletak di dinding sebelah kiri. Membuat cahayanya menerangi sekitar ruangan. Memperlihatkan kamarnya yang begitu rapi dan wangi. Sama sekali bukan seperti ruangan yang ditinggal berbulan-bulan oleh pemiliknya.
Diam-diam, Yudha mendesah entah pada siapa. Ia tahu. Mamanya mempersiapkan ini semua untuk menyambut kepulangannya.
Seolah tidak mau perasaan bersalah dan resah itu menghantuinya, Yudha beranjak menuju kamar mandi. Mengguyur badannya yang lengket dengan air dingin. Berharap setiap tetesnya bisa membawa sekelumit perasaan ganjil itu pergi.
Setelahnya, Yudha memutuskan tidur. Ia merindukan kasur empuk miliknya. Meringkuk di bawah selimut favoritnya mengingat suhu yang rata-rata sejuk. Sensasi tidur nyenyak yang sudah pasti jarang didapatkannya semenjak ia kuliah.
Persis ketika separuh kesadarannya sudah beranjak pergi, ia mendengar derit pintu terbuka. Disusul suara seorang gadis kecil yang cukup dikenalnya.
"Yeay! Uda pulang!!"
Suara lengking sekaligus lucu itu mengembalikan kesadaran Yudha secara sempurna. Membuatnya ingin segera bangkit. Namun tertahan kala suara lengking lainnya terdengar.
"Ra, ayo lanjut main!"
"Tapi Kak, Uda pulang. Ayo mainnya bareng Uda."
Yudha tidak tau apa yang dilakukan kedua adik kecilnya itu. Yang ia tahu, kedua gadis kecil yang biasanya selalu rusuh itu mendadak terdiam. Dan Yudha mendapat jawabannya kala suara pintu berderit tertutup. Disusul dengan suara lembut yang jelas dikenalnya.
"Zahra, Uda baru pulang. Uda masih capek. Jangan ganggu Uda dulu, ya."
Hati Yudha terenyuh. Seberkas rasa bersalah itu kembali menyelimuati hatinya. Ya Tuhan, ada apa dengan dirinya akhir-akhir ini?
-----
Setelah berbulan-bulan makan sendirian-atau dengan Gibran-di kamar kosnya yang sempit, malam ini Yudha menikmati makan malam sederhana bersama keluarganya. Meski ia sama sekali tidak ikut berbicara, hanya menjawab pendek pertanyaan yang dilontarkan papanya, harus ia akui bahwa dirinya menikmati makan malam kali ini. Walaupun sulit, sedikitnya ia percaya bahwa ia merindukan keberadaan keluarganya.
Selepas makan malam, Yudha memutuskan keluar rumah sebentar. Bertemu teman-teman lamanya mungkin akan lebih menyenangkan, dibandingkan bergabung dengan kedua orang tua da kedua adiknya yang sedang asyik mengomentari siaran TV di ruang keluarga.
Saat Yudha melintasi ruang tamu, suara berat milik papanya memaksanya menghentikan langkah.
"Kamu mau kemana?"
"Keluar, Pa."
"Kamu mau nongkrong di depot air minum itu lagi? Berapa kali sudah Papa bilang.."
Yudha melengos. Ia melanjutkan langkah. Malas mendengar ucapan Papanya yang melarangnya bergaul. Buat Yudha, bergaul itu bebas dengan siapa saja. Siapa diri kita bukan pergaulan yang menentukan, tapi diri kita sendiri.
Yudha tidak tahu bahwa alasan ucapan papanya terhenti bukan karena ia mengabaikannya, melainkan karena mamanya sudah lebih dulu memberi isyarat agar papanya diam. Membuat laki-laki yang berusia hampir kepala lima itu menghela napas. Menatap punggung anak sulungnya yang kian menjauh. Hanya sempat berpesan sebelum anaknya menutup pintu rumah dan menghilang.
"Jangan lupa sholat isya, Yud."
-----
"Wuuiiihhh... ada anak kuliah nih!"
"Gilaa!!! Masih ada anak kuliah yang gabung sama anak ga sekolah kayak kita, men!!"
Sahutan-sahutan serupa menyambut kedatangan Yudha di depot air minum yang menjadi tujuannya. Yudha hanya menanggapi sahutan-sahutan itu dengan senyum sekaligus cengiran. Ia tahu bahwa sahutan itu hanya candaan. Buktinya, beberapa detik sebelahnya mereka sudah sibuk berpelukan ala-ala cowok sambil tertawa satu sama lain.
"Gimana kuliah lo?"
Pertanyaan itu berasal dari Robi, salah seorang teman Yudha dari zaman SD sekaligus pemilik dari depot air minum ini. Robi putus sekolah semenjak SMP. Keluarganya broken home dan sisa hidupnya berjalan luntang-lantung hingga ia berani bangkit dan membuka depot air minum ini sebagai sumber penghidupan.
"Do'ain aja deh, gue lulus tahun ini."
Jawaban itu membuat Robi tersenyum. Ia yakin Yudha pasti bisa. Sejak SD, meski nakal dan urakan, kepintaran Yudha jelas tidak bisa diremehkan.
"O iya, nyokap lo gimana?"
Meski sudah biasa mendengar pertanyaan itu dari Robi, kali ini Yudha sedikit tersentak. Cepat-cepat mengendalikan ekspresinya kemudian mengedikkan bahu seolah acuh.
"Gue cuma mau ngasih saran, nih. Kisah hidup gue mungkin emang pahit banget, tapi sejak pertama kali gue ketemu nyokap lo, gue tau kalau dia beda dari yang lo tahu."
Yudha hanya diam, lantas melambaikan tangan. Seolah berucap bahwa ia tidak peduli lewat gestur tubuhnya. Meski sebenarnya, jauh di dalam hati, sebagian nuraninya kembali bertanya-tanya, apakah Robi benar?
"Ngobrol berdua doang nih? Gabung yuk sama lain. Udah lama kan, kita ga main domino?"
Ajakan itu membuat Robi dan Yudha serempak menoleh. Tertawa renyah kemudian mengangguk. Berpindah ke meja panjang yang tidak lagi terlihat dari luar. Mengeluarkan kotak domino yang tersimpan di dalam rak tua.
"Eiitss.. sambil main, harus ada minumnya dong."
Lantas seperti yang sudah-sudah, botol-botol kaca berwarna hijau berisi alkohol dikeluarkan dari sebuah kardus. Disusun rapi di atas meja. Bersamaan dengan beberapa gelas kaca berukuran sedang. Lantas siap untuk larut di dalam permainan dunia itu entah sampai kapan.
---
Assalamu'alaikum readers..
Silahkan enjoy part yang satu ini ya..
Jangan lupa vomment plus kritik dan saran yang membangun ya?
FYI :
Uda : panggilan kepada saudara laki-laki yang lebih tua dalam bahasa Minang
Depot Air Minum : Tempat menjual air galon atau isi ulang air galon
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang [LENGKAP]
RomanceTentang keluarga dan pasangan. Tentang alur nyata kehidupan. Tentang berdamai dengan semua takdir menyakitkan. Tentang menerima, mencintai, dan saling menguatkan. Cerita tentang titik terang dalam hidup yang gelap dan diselimuti kebohongan.