BAB 1 | Tokoh Utama

156 10 1
                                    

Tepat ketika jam menunjukkan pukul sebelas, kelas sistem politik Indonesia selesai. Sama dengan mahasiswa lainnya, laki-laki itu bergegas keluar dari kelas. Melangkah cepat menuju kantin yang ada di luar fakultas. Satu-satunya kantin yang menyajikan makanan yang sesuai dengan seleranya di kampus ini.

Namun, belum genap kakinya melangkah lebih jauh, sebuah tangan melingkari lengannya yang membuat laki-laki itu menghentikan langkah.

Spontan laki-laki itu menyunggingkan senyum kala tatapannya beradu dengan mata yang paling akrab ditemuinya selama beberapa tahun terakhir.

"Hai, Sayang" sapanya mesra.

Yang disapa ikut tersenyum manis. Berpindah posisi. Menggenggam tangan laki-laki yang beberapa tahun menyandang status sebagai kekasihnya.

"Kamu mau ke kantin?"

Laki-laki itu hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Yah... maaf yah, aku ga bisa nemenin. Abis ini ada kelas lagi." ucapnya sambil mengerucutkan bibir.

"Ga papa. Kan bisa besok-besok."

Gadis itu tersenyum senang mendengar jawaban kekasihnya itu. Ia senang dengan sikap pacarnya yang tak pernah marah. Bahkan nyaris selalu menuruti kemauannya.

Setelah melirik arloji yang melingkar manis di tangannya, gadis itu dengan berat hati melepaskan pelukannya dari lengan sosok di sampingnya.

"Ya udah ya, Yang. Aku pergi dulu."

Laki-laki itu mengangguk tersenyum. Mengangkat tangan untuk mengusap kepala pacarnya yang tertutup jilbab.

"Semangat kuliahnya, Sayang."

Gadis itu tersenyum. Melambaikann tangan sebagai bentuk sebuah perpisahan--sementara.

-----

Pintu kamar itu terbuka. Ruangan yang semula gelap berubah terang saat saklar lampu telah dinyalakan. Memperjelas keadaan ruangan sempit itu yang begitu berantakan. Tanpa merasa perlu repot-repot membersihkannya, laki-laki itu langsung menghempaskan tubuh di atas tempat tidur.

Persis saat ia hampir tertidur, terdengar deritan pintu yang mau tak mau membuat kesadarannya kembali. Seraya berdecak malas, ia kembali mencoba memejamkan mata. Ingin beristirahat sebentar ke alam mimpi.

"Gua bawa makanan nih. Mau nggak?" tawar laki-laki yang baru saja masuk itu.

Bersikap seolah telah lelap dalam tidurnya, yang ditanya sama sekali tidak menjawab. Membuat laki-laki itu kesal. Menimpuknya dengan bantal. Berucap dengan nada sinis, "Ga usah pura-pura ga denger deh, Yud."

Timpukan itu mau tak mau membuat Yudha bangun. Balas menimpuk laki-laki yang menyandang status sebagai sahabat sekaligus teman sekamarnya.

"Bisa ga sih, lo ga ngeselin sehari aja?"

Merasa tak bersalah, laki-laki itu hanya mengangkat bahu. Niatnya kan baik, berbagi makanan.

Meski sudah kembali merebahkan diri dan mencoba menutup mata, sayangnya Yudha tak bisa tidur. Ia berdecak kesal. Sudah kebiasaannya yang sulit tidur jika dibangunkan secara paksa seperti barusan.

Dengan terpaksa, Yudha bangkit dari posisinya. Melangkah malas menuju Gibran yang asyik mengunyah martabak bandung yang baru saja dibelinya. Mengambil satu potong martabak dari dalam kotak. Membuat Gibran mendelik tak ramah ke arahnya.

"Ye... dibangunin malah marah-marah. Ujung-ujungnya, makan juga." sewot Gibran menggigit martabaknya dengan ganas.

Yudha hanya diam. Bersikap seolah tak mendengar. Mengambil salah satu buku miliknya di rak kayu seraya mengunyah potongan martabak. Menatap deretan huruf yang tertulis. Beranjak menuju meja belajar. Mengeluarkan beberapa buku dari dalam tas. Bersiap ingin mengerjakan tugas yang didapatnya hari ini.

"Lo pengen lulus kapan sih, Yud?" tanya Gibran serius.

Mendengar pertanyaan bernada serius itu, Yudha menoleh. Gibran bahkan rela meninggalkan martabaknya demi mendengar jawaban dari dirinya. Hal itu membuat Yudha terkekeh pelan.

"Gitu amat ekspresi lo. Ya secepatnya lah. Kalau bisa lulus besok, gue mau." jawab Yudha mantap.

Jawaban itu membuat Gibran terdiam. Entahlah. Dirinya memang tak pernah seserius Yudha dalam hal kuliah. Mengerjakan tugas apabila sempat. Bahkan, terkadang juga berani absen hanya dengan alasan malas. Dilihat dari hal itu saja, jelas sudah kapan ia akan lulus. Kalau bukan saat hidayah datang, ya, saat surat drop out datang.

"Makanya, jangan males-males banget elah... Kapan mau lulus coba? Kalau gue sih, emang ga punya alasan buat kuliah lama-lama. Tau sendiri ekonomi orang tua gue gimana."

Kalimat terakhir Yudha memang menyentil hati Gibran. Namun, seperti kebiasaannya, laki-laki itu hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Seolah tengah mencari pengalihan pembicaraan.

"Oh iya, lo udah shalat belum?"

Bukannya menjawab, Yudha hanya menggeleng pelan. Seolah-olah shalat bukanlah kewajibannya sebagai seorang muslim. Inilah yang sering Gibran sayangkan dari temannya yang satu ini. Padahal, Yudha cukup pintar dalam akademis. Jangan tanya dalam organisasi. Ia bahkan salah satu pejabat BEM kampus. Sayangnya, laki-laki itu seakan lupa apa tujuannya hidup di atas dunia ini. Bukankah sudah pernah Allah katakan

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepadaku" (Q.S adz-Dzaariyaat ayat 56)

Dan kelupaan laki-laki itu akan tujuan hidupnya membuat Gibran merasa bahwa Yudha bisa saja kehilangan segala kelebihannya sewaktu-waktu.

Merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan, Gibran hanya menghela napas panjang. Mengangkat bahu. Lantas beranjak menuju kamar mandi. Mengambil wudhu'. Menunaikan shalat sebelum waktunya habis.

Di saat bersamaan, gerakan tangan Yudha yang tengah mengerjakan tugas terhenti tatkala mendengar dering ponselnya. Ia pikir, mamanya lah yang akan menelfon di saat-saat seperti ini. Namun, nama yang tertulis membuat Yudha tak pelak menyunggingkan senyum.

Lidya

"Hai, Sayang."

Sapaan itu membuat Gibran yang baru saja selesai berwudhu' menoleh. Menatap Yudha yang segera menghilang di balik pintu. Kebiasaan khasnya jika sedang menelpon.

Satu hal lagi yang membuat Gibran tak habis pikir. Padahal Yudha berasal dari keluarga yang cukup agamis. Terbukti dari kedua adik perempuan Yudha yang sudah berjilbab sejak mereka kecil. Gibran pernah bertemu keduanya beberapa kali.

Mengapa Yudha masih pacaran saat ia tau bahwa hal itu salah?

---

Special buat yang minta up..

Enjoy terus ya readers..

Stay sampai selesai..

Jangan lupa Vomment

Jangan lelah berda'wah. Semoga lelah kita menjadi lillah :)

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang