BAB 12 | Alibi

50 5 2
                                    

"Selalu ada cara bagi Allah untuk menunjukkan kebenaran. Kita hanya perlu percaya dan meminta bantuan-Nya."

-----

Aroma kopi menguar dari setiap sudut. Sesekali bercampur dengan aroma cake yang terkesan lembut atau aroma burger yang menggoda selera. Jam sudah menunjukkan pukul 23:54, namun, meja-meja masih terbilang penuh. Kombinasi antara workaholic dan pasangan membuat kafe ini tidak pernah sepi.

Yudha ada di salah satu meja. Menunggu Gibran yang tengah ke toilet sekaligus mengambil pesanan mereka. Dua moccacino dan potongan brownies yang mungkin bisa menjadi teman dalam pembicaraan nantinya.

Semalaman itu, Yudha masih asik dengan ponsel. Kali ini, bukan chat dengan Lidya atau teman kantornya, melainkan dengan Zahra yang diam-diam mengiriminya chat dengan ponsel mamanya. Mengadu tidak bisa tidur malam ini karena terbayang wajah om-om polisi yang tadi siang menanyainya.

Senyum tipis terlukis di bibir Yudha. Tentu saja. Ingatannya tengah terbang pada kejadian sore tadi. Saat polisi memaksa menginterogasi salah satu anggota keluarganya. Apa mau dikata, yang ada di rumah saat itu hanyalah Zahra yang asik menonton kartun.

-----

Flashback on--

Yudha menatap cemas ke arah Zahra. Tentu saja. Saat ini, terhitung ada tiga polisi yang mengelilingi adik bungsunya itu. Mereka akan memberikan pertanyaan seputar keberadaan Yudha pada tanggal-tanggal tertentu. Namun, lihatlah! Gadis yang sedang dicemaskan itu masih duduk dengan tenang dan ekspresi lucunya. Menatap satu-persatu wajah serius yang mengelilinginya.

"Tanggal delapan belas, Yudha ada di rumah?"

Wajah Zahra pun berubah cepat. Ia mengetuk-ngetukkan telunjuk di kepalanya, pertanda tengah berpikir.

"Emang tanggal delapas belas hari apa sih, Om? Ara ga inget."

Laki-laki yang tadi melempar pertanyaan pada Zahra membulatkan matanya. Ia terbiasa menghadapi para tersangka yang hobi berkilah. Bukan anak kecil yang malah terlihat mempermainkannya.

"Om kok matanya jadi besar gitu, sih? Ga boleh marah, loh, Om. Ntar kalau Ara ngambek, gimana? Ga mau jawab pertanyaan Om lagi. Pertanyaannya masih banyak, kan?"

Menyadari kepolosan adiknya yang bisa saja memancing kemarahan petugas polisi, Yudha cepat-cepat menengahi.

"Tanggal delapan belas itu hari sabtu, Ra."

"Ooohh.. Ara inget. Hari sabtu Uda di rumah, kok."

Yudha menghela napas pelan. Zahra menjawab pertanyaan itu dengan benar. Namun, kalimat Zahra selanjutnya malah membuat Yudha ingin membungkam mulut adiknya yang terlalu jujur itu.

"Uda ngurung diri di kamar terus, Om. Ara kan jadi bingung, kenapa Uda ga keluar-keluar. Ara pikir, Uda sibuk main komputer atau main laptop baru. Pas Ara tanyain ke Bang Farhan, katanya Uda lagi patah hati. Bener kan, Da?"

Astaga! Yudha nyaris menepuk jidatnya. Mengapa Zahra harus membeberkan alasannya tinggal di rumah waktu itu?

"Tanggal sembilan belas, Yudha masih di rumah?" tanya polisi lain tanpa memberikan kesempatan pada Yudha untuk menjawab pertanyaan polos adiknya.

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang