BAB 42 | Permintaan

17 0 0
                                    

Tubuh Nia yang sedari tadi mematung semenjak kepergian Yudha akhirnya bergerak kala suara adzan maghrib menyambangi pendengarannya. Dengan setengah lemas, Nia bangkit dari posisinya. Ia sempat bertanya lokasi mushalla atau mesjid rumah sakit pada perawat yang kebetulan melintas agar bisa segera menunaikan kewajiban shalatnya.

Untungnya, persis di samping ruang ICU ada ruangan kecil yang disediakan untuk ruang tunggu keluarga pasien. Perawat menyarankan agar Nia shalat di ruangan tersebut lantaran jarak ke mesjid rumah sakit yang cukup jauh. Apalagi, di ruangan itu Nia juga beristirahat dengan fasilitas yang lebih baik.

Persis ketika Nia masuk ke dalam ruangan itu, tatapannya bertemu dengan dua orang yang sudah lebih dulu ada di sana. Keduanya perempuan dengan usia yang terpaut lumayan jauh. Sebagai basa-basi, Nia memaksakan senyum dan memperkenalkan diri.

Dua perempuan itu adalah seorang nenek dan cucunya. Keduanya tengah menunggu kabar baik dari sang kakek yang kini tengah berjuang di dalam ICU. Berbeda dengan Ari yang akan dioperasi, si kakek sudah dioperasi sejak kemarin. Sayangnya, tanda vitalnya tidak kunjung membaik sehingga tidak bisa dipindahkan ke ruang rawat atau HCU sekalipun.

Setelah menunaikan shalat, Nia tenggelam dalam do'anya. Meskipun nyaris selalu menangis kala berdo'a, kali ini tangisan Nia jauh lebih lama. Ia bersungguh-sungguh memohon agar Allah berbaik hati memberikan kesempatan untuk suaminya hidup lebih lama dalam keadaan yang sehat.

Persis ketika Nia menutup do'anya, seorang perawat masuk ke dalam ruangan.

"Keluarga pasien Ari?"

Mendengar nama suaminya disebut, Nia bergegas berdiri dan merapikan alat shalat.

"Bapak minta tolong ditayamumkan, Bu. Beliau ingin shalat."

Nia mengangguk. Hatinya terenyuh dengan kabar itu. Artinya, Ari sudah dalam kondisi sadar sempurna. Ia juga bersyukur Ari masih mengingat kewajibannya sebagai seorang muslim di tengah segala hambatan yang tengah mengungkung badannya.

Setelah memastikan wajahnya tidak terlalu bengkak dan kesedihannya tidak terlalu tampak, Nia masuk ke dalam ruang ICU bersama perawat yang tadi memanggilnya.

Nia mati-matian menahan tangis kala tatapannya beradu dengan tatapan Ari yang terlihat lemah. Apalagi saat melihat begitu banyak selang yang tertancap di tubuh Ari. Walau begitu, Nia masih bisa memaksakan sebuah senyum untuk menyemangati Ari.

"Halo, Mas. Gimana keadaannya? Bagian mana yang sakit, Mas?"

Sama seperti Nia, Ari juga memaksakan sebuah senyum di bibirnya yang pucat.

"Gapapa, sayang. Saya cuma lemas."

Suara Ari yang biasanya tegas, kini terdengar amat lemah dan parau. Hal yang dalam hitungan detik berhasil membuat air mata yang ditahan Nia lolos begitu saja.

"Hey, kamu ga boleh nangis. Kamu harus kuat biar saya juga bisa bertahan dengan baik."

Patah-patah, Nia mengangguk. Ia mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya dan memaksakan sebuah senyum. 

"Maaf ya, saya jadi bikin kamu khawatir. Sepuluh tahun pernikahan kita, sepertinya saya sudah banyak membebani kamu."

Kalimat itu membuat Nia mati-matian menahan luapan air matanya. Sungguh, ia tidak suka percakapan ini. Takut sekali memikirkan bahwa mungkin saja ini adalah percakapan terakhir keduanya.

"Makasih ya, sayang, sudah selalu menerima keadaan saya. Sudah selalu membersamai kehidupan saya. Saya sungguh beruntung berkesempatan untuk memiliki kamu sebagai seorang istri."

"Iya, Mas. Aku juga berterimakasih untuk semuanya. Kita beruntung satu sama lain." jawab Nia dengan suara parau dan bergetar akibat menahan tangis.

Hening beberapa menit hingga akhirnya Ari kembali bersuara,
"Bantu saya wudhu, ya."

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang