BAB 14 | Maaf

47 5 4
                                    

"Di balik kemarahan seorang ayah, selalu ada setumpuk penyesalan dan rasa bersalah"

-----

Jam sudah menunjukkan pukul 23:46. 14 menit lagi menuju pergantian hari dan sudah 2 jam 14 menit pula semenjak Ari mengamuk di kamar Yudha. Mengguyur putra sulungnya di kamar mandi tanpa perasaan.

Nia kini persis berada di depan pintu kamar Yudha. Bersiap masuk ke dalam kamar putra sulungnya itu. Ingin melihat bagaimana kondisinya sekarang. Ia yakin bahwa Yudha sedang butuh seseorang, minimal untuk menjadi sandaran, seperti yang tadi dikatakan Ari, suaminya.

-----

Flashback on--

Pintu kamar terbuka. Nia buru-buru berdiri melihat kedatangan Ari dengan wajah yang masih sempurna memerah. Menuntun suaminya itu untuk duduk di pinggir tempat tidur. Memberi laki-laki itu ruang dengan tidak banyak bertanya.

Ari mengusap wajahnya kebas. Ia masih mencoba menetralkan emosinya akibat kelakuan Yudha tadi. Berkali-kali mengucap istighfar. Mengusir bayang-bayang masa lalu yang hampir kembali menghantuinya.

Nia paham sekali apa yang kini sedang berkecamuk dalam diri Ari. Rasa bersalah, menyesal, dan marah bercampur menjadi satu. Potongan masa lalu yang siap menghujam lebih dalam. Atau mungkin juga desakan tangis yang sudah menggantung di pelupuk mata.

Dengan inisiatifnya, Nia merengkuh laki-laki yang telah menjadi imamnya selama kurang lebih dua belas tahun. Mengusap punggung laki-laki itu dengan sabar. Memberinya ruang untuk melampiaskan semuanya.

Hingga akhirnya, isak tangis pelan-pelan terdengar lolos dari bibir Ari. Jelas sudah. Ari tengah susah payah mengubur kembali masa lalu yang ia ingin sekali berdamai dengannya. Menerima bahwa ia memang pernah melakukan kesalahan besar. Mencoba tidak lagi membenci dan mengutuk, terlebih kelakuan Yudha barusan sangat mengingatkannya akan kesalahan itu.

"Udah mas. Semuanya udah berlalu."

Ari paham. Kejadian itu sudah berlalu nyaris 21 tahun yang lalu. Namun, Ari sama sekali tidak bisa berdamai. Potongan kejadian itu selalu membuatnya jatuh ke titik terdalam.

"Mas, kita udah sepakat sejak awal rumah tangga kita untuk berdamai. Jika mas belum menerima, bagaimana mungkin Yudha akan menerimanya."

Ari tidak menjawab. Ia hanya memeluk Nia lebih erat. Dalam hati mengucap syukur akan kebaikan Allah yang telah menghadirkan pasangan sesabar Nia dalam hidupnya.

"Yudha hanya sedang mencari pelariannya mas. Kita usaha lagi, ya. Semoga dia bisa bebas dari pelet wanita itu."

Ari mengangguk. Dirinya sudah lebih tenang. Ia mencoba mengulas senyum. Mungkin istrinya benar, Yudha hanya belum menerima banyak hal. Ia sengaja memacari Lidya untuk mencari pelarian dari kisah pelik hidupnya. Usaha tujuh tahun mereka untuk melepaskan Yudha memang belum berhasil. Mereka hanya perlu mencobanya lagi.

"Makasih, sayang, sudah mau mengerti."

Nia mengangguk, balas tersenyum. Ia tidak pernah menyesal menikahi Ari dan harus merawat dua putra tirinya. Baginya, rumah tangga mereka selalu indah. Terlebih jika Yudha sudah mau menerima keberadaannya sepenuhnya.

"Pergilah untuk melihat keadaan, Yudha, sayang. Dia pasti butuh seseorang. Maaf aku telah berbuat kasar."

Tanpa banyak bicara lagi, Nia mengangguk. Memberi sebuah kecupan di pipi Ari sebelum akhirnya beranjak keluar. Memeriksa keadaan putra sulungnya.

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang