Langkah Yudha berhenti saat ia melihat Nia yang sibuk mondar-mandir di depan salah satu ruangan yang letaknya persis di samping ICU. Gestur tubuh Nia jelas tampak gelisah, seolah sedang mencemaskan sesuatu.
Buru-buru Yudha melangkah mendekat.
"Kenapa, Ma? Papa gapapa, kan?"
Bukannya lega, wajah Nia malah terlihat semakin keruh kala keduanya bersitatap. Seolah, Nia tidak mau Yudha ada di sana. Seakan-akan ada sesuatu yang Nia sembunyikan.
"Ma?" panggil Yudha sekali lagi.
Nia gelagapan. Ia kemudian menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Yudha sebelumnya.
"Kamu udah shalat?" tanya Nia seolah ingin mengalihkan pembicaraan.
Yudha mengangguk.
"Ini Yudha bawain baju sama selimut buat mama. Ara sama Nisa juga udah aman kok di rumah. Mama ga usah khwat6." jelas Yudha dengan harapan bisa mengurangi kegelisahan Nia. Sayangnya, raut wajah Nia sama sekali tidak berubah. Itu artinya, Zahra dan Annisa bukan hal yang tengah Nia khawatirkan.
Hening sesaat sebelum akhirnya Yudha kembali bertanya, "Mama kenapa, sih, Ma?"
Pertanyaan itu akhirnya membuat Nia menghela napas panjang. Ia akhirnya menatap mata Yudha, hal yang sedari tadi ia hindari.
"Papa akan dioperasi kira-kira pukul 09.00. Sebelum itu, papa mau bicara sama kamu."
Yudha tidak merespon sama sekali. Di dalam kepalanya, ia masih belum mengerti kenapa hal itu bisa membuat Nia begitu gelisah.
"Yudha, dengarin mama, ya. Apapun yang kamu dengar dari papa nanti, percayalah kalau papa sayang sama kamu. Mungkin selama ini kamu merasa papa terlalu keras, banyak marahnya, atau bahkan ga sayang sama kamu seperti papa sayang ke Farhan atau adik kamu yang lain. Papa cuma terlalu terjebak di masa lalu dan menyalahkan diri sendiri. Jadi, mama mohon, apapun nanti yang kemu dengar, jangan sampai itu membuat kamu merasa ga berharga atau yang lainnya. Apapun itu, papa dan mama sayang sama kamu. Oke?"
Yudha terdiam. Kata-kata Nia yang seperti memperingati seorang anak kecil membuatnya bertanya-tanya, ada apa sebenarnya. Namun, tak satu patah kata pun keluar dari mulutnya. Ia seolah tahu bahwa bertanya pada Nia pun tidak akan memberinya jawaban yang memuaskan.
Sekali lagi, Nia menghela napas sebelum akhirnya meminta Yudha masuk ke dalam ICU untuk bicara dengan Ari. Wanita itu sudah siap dengan segala hal yang akan terjadi setelahnya.
Dengan membawa tanda tanya yang cukup besar, Yudha melangkah masuk ke ruang ICU. Ia langsung bisa menemukan Ari yang terbaring di salah satu bed dengan beberapa selang yang menancap di tubuhnya.
"Pa," panggil Yudha pelan.
Seumur hidup, ini kali pertama Yudha melihat senyuman Ari yang terlihat berbeda. Tidak ada wibawa di sana, tidak ada raut wajah tegas seperti biasanya, hanya ada senyum tulus di wajah tuanya yang kali ini terlihat lemah.
"Gimana keadaannya, Pa?"
"Papa gapapa. Papa mau ngomong sesuatu sama kamu."
Meski canggung, Yudha menganggukkan kepala. Ia menggeser kursi tempat ia duduk lebih dekat ke arah bed Ari. Sesekali, suara monitor tanda vital pasien terdengar berdenging.
"Papa mau minta maaf kalau belum bisa jadi papa yang baik. Papa minta maaf atas masa kecil kamu yang ga begitu indah. Papa minta maaf membuat kamu bertanya-tanya, kenapa papa menikah lagi? Kenapa papa bisa melupakan mama kamu begitu cepat? Pertanyaan itu pasti pernah jadi mimpi buruk kamu, kan?"
Yudha tidak menjawab. Ia tidak sanggup melontarkan satu kata pun. Semua perkataan Ari seolah mengorek kembali pertanyaan-pertanyaan masa kecilnya, kenangan lama yang susah payah ia kubur agar bisa berdamai dan menjadi Yudha yang lebih dewasa.
"Papa mau berterima kasih. Terima kasih sudah menjadi putra sulung yang baik dan membanggakan. Terima kasih kamu ga jatuh ke dalam zina dan narkoba, meskipun kamu berteman dengan banyak orang yang justru hidup dengan itu. Pasti sulit sekali tumbuh dengan baik tanpa keluarga, kan?"
Kali ini, Yudha tidak hanya mematung. Ia menunduk, menyembunyikan air matanya yang hampir jatuh.
Benar.
Sulit sekali tetap tumbuh dengan baik tanpa bimbingan keluarga. Berkali-kali Yudha menahan diri dari kedua hal haram itu. Berkali-kali pula ia hampir melakukannya untuk balas dendam lantaran tidak dipedulikan keluarga. Namun, beruntung Allah masih berbaik hati menjaganya.
"Selama ini, papa sebenarnya bangga sama kamu. Maaf papa ga bisa mengungkapkannya dengan benar. Semoga kamu ga dendam sama papa, ya."
Sedikit susah payah, Ari mengelus kepala Yudha yang masih tertunduk.
"Meskipun kamu sudah punya keluarga, papa titip mama dan adik-adik kamu, yah. Kalau memang waktu papa sudah habis, papa harap kamu bisa jadi sosok yang menggantikan keberadaan papa buat adik-adik kamu."
Kali ini, Yudha sudah tidak sanggup. Perlahan tapi pasti, air matanya jatuh menetes dalam hening.
"Terakhir, papa minta maaf harus menyampaikan ini..."
Cukup lama Ari terdiam. Dadanya bergemuruh sebelum kalimat itu meluncur dari mulutnya.
"Nanti, ketika Annisa atau Zahra menikah, yang jadi walinya adalah Farhan."
Persis setelahnya, Yudha terdiam. Tangisnya berhenti. Satu tanda tanya besar muncul di kepalanya, kenapa?
Kepala Yudha terangkat. Ia menatap Ari yang kini mulai menangis.
"Kenapa, Pa?"
"Pernikahan itu...pernikahan itu tidak sah, kalau kamu yang jadi walinya."
Sempurna sudah rahasia itu tersampaikan.
Memang, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Ari secara jelas mengenai hal itu, tetapi Yudha yang besar di pesantren, mampu merangkai semuanya hingga menjadi satu kesimpulan yang menyakitkan.
"Apa...Yudha anak di luar nikah?" tanya Yudha patah-patah dengan suara bergetar.
Tidak ada jawaban dari Ari. Hanya air matanya yang meluncur kian deras.
-----
Assalamualaikum readers
Sempurna sudah konflik kita
Apakah ada di antara kalian yang bisa menebak fakta ini dari awal?Aku ga tau mau bicara apa lagi
Tapi, alhamdulillah bisa update lagi hari iniSemoga besok juga bisa nulis seproduktif ini
See you secepatnya
Assalamualaikum
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang [LENGKAP]
Roman d'amourTentang keluarga dan pasangan. Tentang alur nyata kehidupan. Tentang berdamai dengan semua takdir menyakitkan. Tentang menerima, mencintai, dan saling menguatkan. Cerita tentang titik terang dalam hidup yang gelap dan diselimuti kebohongan.