BAB 7 | Secarik Surat

45 5 2
                                    

"Perasaan dan hati adalah kuasa Allah. Karena itulah kita tak pernah menduga kepada siapa ia akan jatuh dan berlutut."

-----

Menjelang siang, Yudha masih sendirian di dalam ruang rawatnya. Kedua orang tuanya masih belum kembali sejak pertengkaran tadi. Meski mamanya masih sempat bertahan di ruangan ini sebentar, wanita itu akhirnya juga keluar. Entah karena ingin menyusul papanya atau karena sudah tak kuat menahan tangis, Yudha tidak tahu.

"Jangan pernah pacaran dengan wanita seperti ini!"

Kalimat berupa bentakan itu masih terngiang dengan jelas di telinga Yudha. Kalimat yang meluncur dengan mulus dari mulut papanya dan kalimat itu berhasil mengusir keberadaan Lidya.

Kekasihnya itu langsung pergi tanpa pamit. Yudha memang tak melihat air mata mengalir dari kedua bola matanya, namun ia yakin pasti kata-kata itu telah melukai hati Lidya.

Karena itulah Yudha akhirnya bertengkar dengan papanya. Sebenarnya, ia tak tahu pasti alasan mengapa dirinya tiba-tiba membalas perkataan papanya dengan bentakan yang hampir sama. Yang jelas, Yudha tiba-tiba merasa sangat marah dan ingin melampiaskan kemarahan dalam dirinya itu pada papanya. Tidak peduli dengan bibirnya yang nyeri luar biasa saat ia bicara.

Beruntung mamanya ada di sana. Menahan tangan papa yang ingin sekali menamparnya. Membuat pria paruh baya itu kemudian pergi meninggalkan ruang rawat dengan amarah.

Sayangnya, bukan berterima kasih, Yudha malah menyinisi wanita yang tadi telah membelanya. Menganggap bahwa mamanya sedang cari muka. Khas pelakor pengambil suami orang.

Karena itulah kemudian mamanya pergi. Meninggalkan Yudha sendirian dalam keadaan kesal berkali-kali lipat. Dan hingga siang ini, keduanya sama sekali belum kembali.

Pintu yang tiba-tiba berderit membuat Yudha menoleh. Ia pikir papanya yang akan datang dengan wajah dingin atau mamanya dengan wajah sembab tapi masih sempat-sempatnya tersenyum lembut. Namun, kenyataannya yang muncul adalah seorang gadis berkhimar syar'i yang mendorong trolley berisi ransum pasien.

"Selamat siang, Mas. Ransumnya mau saya letakkan dimana, Mas?" tanyanya ramah.

Namun, Yudha kehilangan selera untuk menjawab pertanyaan itu. Memilih diam dengan segala pikiran yang berkecamuk di dalam kepalanya.

Mendapati tidak ada jawaban, Alifa memilih meletakkan ransum yang sudah dibawanya di atas nakas. Berspekulasi mungkin saja pasien alias laki-laki yang diselamatkannya ini sedang ada masalah.

Saat Alifa telah berbalik, ingin beranjak untuk mengantar ransum pasien di ruangan lainnya, suara berat dengan nada bertanya dan artikulasi yang tidak terlalu jelas membuatnya menghentikan langkah.

"Menurut kamu, kenapa pacaran itu ga boleh? Saya kan ga hamilin anak orang di luar nikah."

-----

Alifa menggigit bibir. Keraguan dalam dirinya mendadak memuncak. Tangannya berkeringat hingga hampir terasa lecek. Belum lagi surat di tangannya hampir remuk karena dicengkram terlalu kuat.

Ya. Alifa tengah gugup.

Matanya tak lepas dari ruang rawat laki-laki yang barusan ia ketahui bernama Yudha. Laki-laki yang sempat diselamatkannya dan laki-laki yang tadi siang melemparkan pertanyaan aneh padanya.

Sejujurnya, Alifa sudah sering mendengar pertanyaan serupa dari banyak orang. Namun, entah kenapa ketika laki-laki itu yang bertanya, sepercik perasaan aneh menelusup dalam hatinya. Seolah perasaan tidak terima bahwa ternyata laki-laki itu memiliki seorang pacar atau kekasih. Ya, Alifa bisa menyimpulkannya dari pertanyaan singkat itu.

Dan disinilah Alifa sekarang. Berada di depan pintu ruang rawat Yudha. Berniat menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sudah ditulisnya rapi dalam sehelai kertas. Menganggapnya sebagai bentuk da'wah dalam kebaikan.

Ia akan menyerahkannya pada Yudha dalam bentuk sebuah surat. Berharap semoga Yudha ingin membacanya dan berubah.

Setelah menghela napas panjang dan berhasil menguatkan diri, Alifa menarik kenop pintu. Membuat pintu berwarna putih itu terbuka. Memberi ruang baginya untuk melangkah masuk.

"Assalamu'alaikum?"

Yudha akhirnya menoleh. Bingung melihat keberadaan Alifa di sini. Tentu saja, dokter baru mengunjunginya sekitar dua puluh menit yang lalu. Saat ini juga bukan jadwal makan malam. Lihat, ia bahkan tidak membawa trolley. Jadi untuk apa gadis itu disini?

Alifa akhirnya meletakkan surat yang telah ditulisnya di atas nakas.

"Mas tadi bertanya kenapa pacaran itu dilarang, kan? Silahkan cari tau jawabannya di surat ini, Mas. Saya permisi. Assalamu'alaikum."

Lantas, Alifa pamit seraya tersenyum ke arah Yudha. Senyum yang entah mengapa membuat Yudha tak berkutik.

-----

Malam semakin larut saat kedua orang tua Yudha telah tidur. Papanya sudah terlelap di atas sofa, sementara mamanya terlelap di atas bed tambahan yang selepas maghrib diminta oleh papanya pada pihak rumah sakit. Kedua orang tuanya ternyata tidak pulang. Entah kemana mereka seharian ini. Yang jelas, mereka memutuskan menemani Yudha malam ini. Menitipkan Zahra dan Annisa pada tetangga sebelah rumah.

Saat itulah perhatian Yudha terfokus pada sehelai kertas yang tadi diletakkan oleh perawat yang belum ia ketahui namanya di atas nakas. Entah kenapa, Yudha saat ingin membacanya sekarang. Membuat ia rela turun dari bed. Berjingkat pelan agar tidak membuat kedua orangtuanya terbangun.

Dengan penerangan seadanya, Yudha akhirnya membaca secarik surat tersebut. Surat yang ditulis begitu rapi. Surat yang diawali dengan salam dan kemudian membuat Yudha banyak berpikir malam itu.

-----

Assalamu'alaikum readerss...

Semoga puasa pada hari ketujuh ini lancar ya..

Jangan lupa jaga ibadah dan amalannya.

Please enjoy this part, don't be a silent reader and I will wait your vomment.

Terus berda'wah. Semoga lelah menjadi lillah :)

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang