BAB 17 | PDKT

31 5 0
                                    

"Hati yang dipaksa patah tidak akan serta-merta pulih. Kebanyakan, mencari tempat tinggal sementara adalah hal yang ia pilih."

-----

Genap seminggu setelah hubungan Yudha dan Lidya berakhir, hari-hari Yudha kembali "normal". Meski masih menyimpan rasa untuk gadis itu, Yudha cukup tahu diri untuk tidak mengganggu rumah tangga orang. Buktinya, dalam waktu dua hari, ia mengganti nomor ponsel dan memblokir kontak Lidya dari seluruh sosial media. Mungkin terlihat kekanak-anakan, tetapi ini jauh lebih baik agar Yudha bisa mengontrol perasaannya. Lidya mungkin juga butuh waktu, menimbang ucapan yang ia lontarkan pada Yudha di hari pernikahannya.

Sekarang, Yudha lebih fokus pada pekerjaannya. Kesibukan-kesibukan itu membantu banyak untuk membuatnya terlihat baik-baik saja. Alhasil, laki-laki itu lebih sering di kantor ketimbang di rumah. Bahkan, satpam kantor merasa tak berguna karena Yudha sudah stay dua puluh empat jam di sana. Tak banyak yang mempertanyakan perubahan itu. Entahlah. Mungkin mereka tidak tertarik dengan kehidupan pribadi orang lain.

Yang kemudian terganggu dengan perubahan itu adalah keluarga Yudha. Mereka takut bahwa Yudha masih belum menerima keadaan. Jangan-jangan Yudha malah memutuskan melukai diri sendiri saat tak ada yang mengawasinya. Atau lebih buruk lagi, laki-laki itu mungkin ingin mengakhiri hidupnya. Hal yang sebenarnya sudah dibantah Yudha berkali-kali.

Malam ini, seperti lima malam sebelumnya, Yudha masih stay di depan komputer. Ditemani segelas kopi dan musik slow yang disetel dengan volume sedang. Seluruh ruangan yang ada di lantai dua itu sudah kosong. Lampu juga sudah dimatikan. Bahkan, lampu ruangan Yudha juga tak menyala. Hanya cahaya dari laptop yang tersisa. Entah nyali apa yang dimiliki Yudha hingga masih betah sendirian di sana.

Namun, ada satu hal yang akan membuat malam ini berbeda. Adalah Gibran yang sudah berkacak pinggang persis di depan pintu ruang laki-laki itu. Menatap prihatin teman kuliahnya yang mendadak jadi workaholic setelah putus cinta.

Tanpa permisi, Gibran membuka pintu itu dan melangkah masuk. Yudha juga sama sekali tidak terkejut. Ia masih fokus dengan laptopnya. Bibirnya bergera-gerak. Keningnya berkerut. Sikapnya seolah tengah menganalisis sesuatu.

Baru saja tangan Gibran menyentuh pundak Yudha, laki-laki itu mendadak blingsatan hingga membuat kursi putarnya mundur beberapa centi.

"Astaga!" ucapnya sambil mengurut dada.

"Astaghfirullah," koreksi Gibran seraya menyalakan lampu. Bersikap seolah sudah mengenali ruangan itu.

"Lo beneran Gibran, kan?"

Mendengar pertanyaan itu, Gibran tak habis pikir. Bagaimana bisa Yudha menghabiskan lima malam seperti ini. Jangan-jangan temannya itu sering mengkhayalkan keberadaan Lidya dan bertanya hal yang sama pada khayalannya sendiri.

"Acak-acakan, mata panda, ga rapi. Gue turut prihatin dengan kondisi lo, Yudh."

Kalimat sarkas barusan seolah bisa mengkonfirmasi bahwa sosok di hadapannya saat ini adalah nyata. Membuat Yudha berdecak malas. Kembali memosisikan kursinya seperti sedia kala dan fokus pada layar laptop. Mengabaikan keberadaan Gibran di sana.

"Lo kabur dari rumah?"

"Siapa bilang? Gue ga kabur tuh."

"Terus, ngapain lo ga pulang-pulang? Melarikan diri? Atau takut ga bisa move on?"

Kali ini, Yudha menampilkan smirk kecilnya. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Gibran. Malah mendadak keluar ruangan. Meninggalkan Gibran dalam keadaan bingung.

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang